Title : Pita Merah Muda
Author : TatanTumis
Cast : Oh Sehun, A girl (you/reader)
Genre : Fluff, Romance
Rating : G
Length : Oneshoot
Disclaimer : I do not own the cast but the storyline pure mine.
.
Happy Reading
.
Oh Sehun
adalah pemuda teraneh yang pernah kukenal dan aku punya alibi yang sangat cukup
untuk menguatkan pernyataan barusan.
Pertama.
Dia selalu manyantap kentang goreng dengan es krim dan es krim dengan saus
sambal. Tanpa penjelasan, bahkan balita sekalipun pasti tahu bahwa es krim
bukanlah pasangan yang serasi bagi saus sambal. Menurutku, saus sambal dan es
krim—dia lebih sering menyantap es krim vanilla—adalah versi lain dari air dan
api yang tak akan bisa bersatu. Tapi Oh Sehun justru melanggar hukum alam
dengan menyatukan keduanya. Bukankah itu aneh, atau lebih dari aneh? Yang
teraneh dari yang paling aneh.
Kedua.
Dia tak pernah menaruh uang tunainya di dalam dompet—aku bahkan ragu dia punya
dompet atau tidak. Dia selalu menaruh uang dalam saku celana belakang bagian
kiri dan kartu ATM dalam saku depan bagian kanan. Aku sempat memprotes
kebiasaan anehnya itu. Hei, tentu saja kartu ATM itu benda yang sangat penting.
Dengan hanya menaruhnya di dalam saku celana, persentasenya hilangnya pasti
meningkat berkali-kali lipat. Bagaimana jika benda itu hilang? Tentu saja itu
akan sangat merepotkan. Tapi dengan ajaibnya, tak pernah sekalipun benda itu
hilang.
Well, masih ada segudang fakta yang
menunjukkan batapa anehnya seorang Oh Sehun. Akan menghabiskan seluruh hidup
untuk membahas semuanya satu per satu—dan aku tak punya waktu seumur hidup
hanya untuk menjelaskan keanehannya.
Tapi
aku lebih aneh darinya. Jauh lebih aneh lagi karena aku terpesona olehnya.
Jangan
tanya awal mula aku yang terpesona padanya; akupun tak ingat. Yang kuingat
hanya Oh Sehun adalah tetangga baruku saat aku 10 tahun dan tahu-tahu aku sudah
terpesona olehnya. Aku lantas bertransformasi dari anak ingusan yang gemar
bermain tanah menjadi anak perempuan normal dengan gaun kembang motif
bunga-bunga dan rambut berpita merah muda yang selalu berjalan di belakangnya
hanya untuk menguntit. Saat aku berumur 13, aku tak lagi berjalan di
belakangnya karena mulai saat itu aku selalu berjalan di sampingnya dengan dia
yang menggenggam tanganku. Dan untuk
seterusnya, tak ada orang lain yang boleh berjalan di sebelahku kecuali Oh
Sehun. Kata Sehun, aku memang sudah ditakdirkan untuk berjalan di sampingnya sambil
menggenggam tangannya. Aku tahu aku hanya akan melihatnya, dan begitu pula
sebaliknya.
Oh
Sehun itu milikku dan aku milik Oh Sehun. Tak seorang pun dapat mengingkari
itu.
.
.
“Sehun?”
“Hm?”
“Kau
selalu menyantap es krim dengan saus sambal. Aku hanya ingin bertanya, apakah
itu mengasyikkan?” Ia terlihat berhenti menyuapi es krim ke mulutnya dan
menatap ke arahku dengan alis terangkat sebelah. Ah, aku tak begitu suka
ekspresi itu. Dengan sekali tarikan napas, aku lantas meluruskan kesalahpahaman
ini, “Well, maksudku apakah kau
menikmatinya? Mengapa?”
Ia
nampak berpikir sebelum menampakkan senyumnya yang —demi tujuh lapis bumi dan langit—sungguh
meneduhkan. “Kau harus mencobanya. Ini
lebih dari menyenangkan, terutama untukku. Kau tahu, aku bukanlah penyuka
makanan manis. Tapi saus sambal sangat membantuku mengubah rasanya.”
“Aku
tahu. Tapi rasannya agak ganjil. Kalau kau tak suka makanan manis, seharusnya
kau tak perlu repot-repot memakan es krim itu.”
Ia
tergelak ringan, menciptakan semacam garis yang melengkung di sisi hidung
mancungnya. Bulan sabit menelan matanya.Kini dia terlihat 6 tahun lebih muda dari
seharusnya. Aku terkadang heran, bagaimana bisa seorang pemuda 23 tahun
terlihat seperti remaja 17 tahun dan aku yang masih 21 tahun bahkan terlihat
seperti wanita karir di atas 25 tahun.
Oh Sehun memang pelanggar hukum alam—meski tak dikehendakinya.
“Ini
semacam toleransi. Sama seperti halnya saat kita berjalan beriringan. Kau tentu
berusaha untuk mengimbangi langkahku dengan memperlebar langkahmu sendiri agar
kita bisa berada pada garis lurus yang sama. Aku juga sedang melakukan hal itu saat ini. Agar
tak seorang pun dari kita tertinggal di belakang atau terlalu maju ke depan.”
“Ah,
begitu.”
“Hn.”
Aku
sedikit tercenung dengan perkataannya barusan. Tak sekalipun aku pernah
memikirkan hal itu. Aku memang bukan orang yang kritis. Aku lebih sering menganggap
remeh hal-hal seperti itu. Tapi Sehun seakan melengkapi segala kekuranganku.
Dengannya, aku menjadi lebih kritis daripada saat aku sendirian. Misalnya saja
seperti membeli makanan ringan. Saat aku berbelanja sendirian, aku hanya akan
mengangkut makanan kesukaanku dalam troli dan membayarnya di kasir. Tapi saat
bersama pemuda itu, ia akan meneliti tanggal kadaluarsa, kandungan gizi, lemak,
bahkan bahan-bahan pembuatannya.
Saat
akan menggeser mangkuk es krim ku, tak sengaja aku melihat secarik kertas penuh
warna yang terselip di balik mangkuknya. Segera saja kuraih kertas itu dan
membacanya dengan penasaran. Kertas itu hanya seukuran kartu nama dan di
selipkan di bawah mangkukku dengan double
tape. Warna kertas itu bercampur-campur dengan gambar ceria di sana-sini.
Ternyata
ini adalah hadiah karena aku adalah pengunjung ke sekian dari kedai es krim
melegenda ini, betapa beruntungnya. Tapi apa hadiahnya? VOUCHER WISATA UNTUK DUA ORANG. Wisata. Dan aku bisa memilih
sendiri tujuanku. Hanya satu tempat tujuan dengan waktu kunjungan satu minggu
dan fasilitas lengkap gratis, hanya dalam kawasan Asia. Demi apapun! Ini lebih
dari indah.
Aku
bahagia, lebih dari bahagia. Tentunya aku tak bisa tak bahagia. Perutku
tergelitik memikirkannya, tapi aku belum bisa tersenyum saking terkejutnya.
Jantungku berdentum dahsyat dan darahku mengalir menuju pipi.
“Se-Sehun?”
panggilku gagap, masih terlalu takjub akan kertas kecil di tanganku. Ini
seperti mimpi. Aku bahkan tak pernah naik pesawat sebelumnya dan tahu-tahu kini
aku mendapat sesuatu seperti ini, tentu saja aku takjub bukan main. Hei! Ini
hebat sekali! “K-kau harus melihatnya. Ini keajaiban.”
Dia
lantas mengambil kertas itu dalam diam. Matanya menyusuri baris per baris
tulisan itu tanpa perubahan ekspresi apapun. Dan di akhir dia hanya tersenyum
tipis sambil menyodorkan kertas itu padaku. Oh Sehun, seharusnya dia ikut bahagia.
Itu adalah hadiah terindah yang pernah kuterima. “Beruntung sekali.”
“Tentu
saja. Tanganku memang selalu mengalirkan keberuntungan. Ya Tuhan, aku sungguh
bahagia.” Tak ingin terlalu sesumbar, aku menatap lekat-lekat kertas itu dan
menekan kegembiraanku yang agaknya berlebihan.
Belum tentu aku bisa pergi. Aku harus meminta izin ayah dan ibu. Dan
sepertinya itu adalah hal yang cukup sulit dilakukan mengingat ayahku yang over protective, yang bahkan tak
mengizinkanku menginap di rumah sahabat terdekatku. “Tapi... apa ayah atau ibu
akan memberi lampu hijau?” gumamku lesu.
“Tapi
Sehun. Kau punya tempat impian yang selalu berada di top list mu?” tentu saja setiap orang punya tempat impian, ‘kan? Akupun
begitu. Tapi sayang, tempat impianku sungguh jauh bahkan dari Asia
sekalipun. Yah, mungkin aku akan memilih
Jepang jika lingkupnya hanya di Asia. Sepertinya Jepang itu cukup menggiurkan.
“Kalau
aku, aku sungguh ingin ke Finlandia. Aku sungguh penasaran dengan sistem
pendidikan di sana, keadaan alamnya juga. Tak tahu mengapa, Finlandia itu menyilaukan mataku. Bahkan keindahan
Paris tak mampu menggeser Finlandia dalam daftar tempat impianku. Suatu saat
aku harus datang ke sana. Tapi jujur saja aku sedikit ragu jika mengingat
kemampuan Bahasa Inggrisku yang setara dengan pelajar Sekolah Menengah Pertama.
Hah, seharusnya dulu aku mendengarkan Mrs. Jung saat menjelaskan. Penyesalan memang selalu datang di belakang.
Ah aku melenceng jauh dari topik pembicaraan. ...bagaimana denganmu Sehun?
Dimana tempat impianmu?” jelasku dalam beberapa kali tarikan napas
“Rasanya
aku ingin sekali ke gereja saat ini. Tapi sebelumnya aku harus mempersiapkan
beberapa hal terlebih dahulu.”
“Eh?
Gereja? Yaampun, kau sungguh religi—“
“Mungkin
aku juga harus menjemput ayah dan ibumu serta ayah dan ibuku atau mungkin
beberapa kerabat.” Senyum tipisnya berubah jadi seringai setan yang memabukkan.
Ada apa denganmu, Oh Sehun. “Sepertinya juga aku harus menyiapkan beberapa hal
penting lain—cathering, musik
pengiring, busana, ornamen, interior—serta dokumen sebelum memasuki gereja.
Merepotkan, tapi aku akan menyukai itu.”
“Hei!
Kau tak butuh dokumen apapun untuk memasuki ge—“
“Tentu
aku butuh dokumen-dokumen yang akan merubah margamu menjadi Oh. Hm, calon
nyonya Oh?”
.
.
The End
.
.
Yosh. Semoga suka, reader-deul ^^ Sebagai author yang masih
abal, Kritik dan Saran selalu diterima dengan senang hati XDD tanda keberadaan
kalian adalah semacam napas buat author *cieileeeee XDD
Mampir yuk, ke WP pribadi author *evil laugh mwahahaha XDD
ini dia: ladymilky
Btw, itu Sehunnya
gombal yaaa? XDD
Story only: 1.185 word
Medan, 11 Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar