Title : Mrs. Flashmob
Author : TatanTumis
Cast : Sung Ha Jin
Oh Sehun
Sung Ha Joon
Jung In Yeong
Byun Baek Hyun
Genre : Hurt/Comfort
Length : Oneshoot
Rating : G
Disclaimer
:Semua tokoh yang ada di dalam cerita hanya milik Tuhan.
Summary
: Anggukan
singkatnya berakhir penyesalan mendalam. Ternyata kata ya darinya mampu menjungkirbalikkan keadaan.Namun, dengan gilanya,
ada sepercik rasa percaya muncul ke permukaan. Percaya pada pemuda menyebalkan
yang baru ditemuinya tak kurang dari seperempat jam lalu.
Percaya
pada dia, OH SEHUN.
.
HAPPY
READING
.
.
“Argh!”
teriakan-teriakan pilu dengan nada melengking—sangat—pada bagian akhirnya.
Menggetarkan gendang telinga, seakan mampu menulikan yang mendengar.
Cairan-cairan bening asin mulai menyeruak dari balik pori-pori kulitnya yang
kering, membasahi sekujur tubuhnya. Teriakan pilu itu terus terdengar. Dengan
kepiluan yang bertingkat lagi, menyayat hati.
Kelopak
matanya membuka, menunjukkan retina mata berwarna kecoklatan dengan genangan air
mata di setiap sudut pelupuknya. Tangannya yang kasar menangkup kedua daun
telinga, mencegah suara-suara dari pulau kapuk itu agar tak terdengar olehnya.
Tapi percuma, semakin erat dia menutup daun telinganya, semakin erat pula mimpi
itu mendekapnya. Seakan-akan memori itu sudah mengalir dalam darahnya, menyebar
ke seluruh sel dalam tubuhnya, dan meracuni otaknya. Memori itu, tak akan
pernah berkurang intensitas kejelasannya.
Begitu
juga dengan teriakannya. Walaupun sudah tersadar dari buaian pulau kapuk,
jeritan itu tak kunjung mereda. Justru semakin melengking. Gelengan kepalanya
tak jua melenyapkan jeritan itu.
“Kakak! Kak! Tenanglah. Aku disini.
Aku memelukmu, kak. Kau aman.” Tangan mungil nan hangat yang melingkar pas di
pinggulnya perlahan tapi pasti mampu menenangkannya. Ombak badai telah surut.
Walau tak menutup kemungkinan suatu saat akan terjadi lagi.
“Ha Joon.” Cicitnya, masih dengan
napas terengah. Segera disambarnya lengan laki-laki kecil itu, memeluknya.
Menyurukkan kepalanya ke sela leher Ha Joon. Air mata mulai jatuh membasahi
wajahnya, menambah kesan menyedihkan yang semula melekat padanya.
“Uhm? Aku di sini,” Tangan mungil Ha
Joon mengelus singkat punggung sang kakak. Punggung itu, yang bahkan lebih
tegap daripada punggungnya sendiri sebagai seorang laki-laki. Punggung yang
selalu menjadi perisai baginya. “Mimpi lagi.”
Anggukan singkat memperjelas
suasana.
Inilah sebabnya sang kakak selalu
terjaga saat langit mengggelap. Hidup layaknya kelelawar, nokturnal. Saat
semuanya terpejam, seorang Sung Ha Jin tetap terjaga. Bahkan saat siang pun, ia
tak pernah tidur yang benar-benar tidur. Bagaimana dia bisa tidur saat di luar
sana banyak pekerjaan yang menunggu untuk di kerjakan? Saat banyak upah yang
menunggu untuk diraup.
“Itu seperti napasku. Akan selalu
hadir.” Tangisnya mereda. Ia sebagai kakak harus kuat di hadapan adiknya,
tentu. “Akan selalu hadir. Akan selalu hadir.”
“Itu akan pergi suatu saat. Mungkin
secepatnya, jika kakak berusaha melupakannya. Lihatlah ke depan, jangan menoleh
ke belakang. Karena menoleh ke belakang hanya akan membuatmu mengenang.” Tangan
hangat Ha Joon berpindah ke bahu kakaknya, melepas pelukannya. Kemudian menatap
lekat iris cokelat sang Kakak. Dan sumpah demi tujuh lapis langit, mata itu
menyimpan berjuta kepedihan.
“Bagaimana caranya? Aku selalu
mencoba, tapi selalu gagal. Saat tidur, dia hadir lagi. Lagi. Dan lagi.” Ha Jin
menjambak rambutnya lalu memukul-mukul kepalanya dengan kepalan tangan
kokohnya. Dipikirnya, mungkin lebih baik tanpa kepala, tanpa mata. Karena
matalah penyebab memori itu bisa masuk ke otaknya.
Tangan Ha Joon mengepal kuat lalu
berteriak hingga urat lehernya menonjol. Ia berteriak bukan tanpa alasan; sang
kakak terlalu larut dalam masa lalu. Hingga terkadang seakan ia hidup di masa lalu.
“Berhenti memukul kepalamu, kakak! Bagaimana dia bisa pergi jika kau selalu
begitu? Mimpi itu tak akan terhapus jika kau selalu menebalkan ukirannya!”
Ha Jin berhenti. Tangannya terkulai
di kedua sisi tubuhnya. Baru kali ini Ha Joon berteriak padanya. Ternyata, sang
adik sudah besar. Dan sudah bisa membentaknya. Hal itu sedikit banyak membuat
hatinya terenyuh. Secepat itukah waktu
berlalu? Jika ya, mengapa harus begitu?
.
.
.
.
.
“Aku pergi.”
Saat pintu bercat cokelat susu itu
terbuka, angin berhembus menerbangkan anak rambut sang gadis, seakan
membelainya lembut. Gumpalan awan lembut dan langit biru cerah seakan
menyambutnya ramah. Tapi, seakan segala keindahan itu tak seberapa, sang gadis
hanya melangkah dengan tatapan datar tanpa minat.
Seakan tak pernah berpapasan dengan
siapapun, gadis itu hanya melangkah tanpa pernah menyapa. Menurutnya, hal itu
hanya akan membuang waktunya yang berharga. Toh, menyapa orang-orang tak akan
memberinya uang. See? Itu sama sekali tak menguntungkan, ‘kan?
Lima belokan ke kanan, tiga belokan
ke kiri, dua perempatan, dan satu jembatan penyebrangan untuk sampai di coffe
shop tempatnya bekerja. Suara nyaring lonceng saat pintu terbuka dan
setelahnya hiruk pikuk suasana di dalam manyambutnya. Dengan sedikit musik yang
hampir tak terdengar lantaran teredam suara ocehan pelanggan, kakinya melangkah
ke ruang ganti.
Dengan kemeja kream sebatas siku dan
apron cokelat tebal bermotif biji kopi dan roti, sang gadis kembali melangkah.
Tujuannya; meja kasir. Seyum seketika tersungging di bibir ranumnya. Bukan
senyum yang sebenarnya. Hanya senyum bisnis. Agar pelanggannya tak bosan untuk
datang lagi. Semakin banyak pelanggan, semakin banyak tips.
“Selamat pagi. Ada yang bisa saya
bantu?”
Dengusan bosan dan senyum bisnis yang
luntur. Ha Jin muak, sungguh. Tersenyum dan berpura-pura beramah-tamah adalah
hal yang sangat menjijikkan. Sangat tak sesuai dengan perangainya. Dan semakin
kesini, ini semakin terasa konyol. Seakan ia mengenakan topeng, berpura-pura.
.
.
.
.
.
“Hei! Aku lupa gerakan terakhirnya!
Bagaimana ini? Ho ho ho…” gerutuan terdengar meluncur manis dari bibir seorang
pemuda berambut merah menyala dengan style yang kelewat update.
Matanya yang berpoles eyeliner tebal terlihat mengerut,
sama halnya dengan bibirnya yang mengerucut. “Oh, ayolah! Sung Ha Jin, ajari
aku! Kau satu-satunya yang bisa diandalkan. Demi Tuhan! Ini tinggal satu jam
lagi, tak lebih.”
“Aku lelah.”
“Oh, ayolah, Sung Ha Jin yang manis.
Ya ya?”
“Aku tahu aku manis, bahkan dunia
sudah mengakuinya. Tapi kau baru sadar sekarang? Bodoh.” Dengan wajahnya yang
tetap datar, tanpa sepercikpun emosi, Sung Ha Jin merogoh lokernya acuh tak
acuh. Mengabaikan pemuda yang saat ini memohon dengan wajah memelas di
sebelahnya.
“Tiga porsi besar pizza, sampai di rumah saat kau ingin.”
“Ti—“
“Tiga hari berturut-turut.”
“Sepakat!” Penghematan uang belanja
selama tiga hari, mungkin. Tiga porsi besar pizza perhari dan hanya
perlu berbagi dengan Ha Joon. Itu sudah lebih dari kenyang. Daripada hanya
makan roti keras yang hampir berjamur? Tentu tawaran Baekhyun—pemuda di
sebelahnya—terasa sangat berkilauan, menggiurkan.
“Huh! Materialistis!”
“Hn. Perhatikan. Aku hanya akan
melakukannya dua kali.”
“Kau curang! Pizza itu mahal, da—
HEI!” Tanpa aba-aba, Ha Jin bergerak. Menari dengan anggunnya, gerakannya
sangat bersih. Jernih. Baekhyun kewalahan, ia tertinggal beberapa gerakan.
Bisa-bisa tak hapal sama sekali jika begini caranya. Cerdik sekali kau, Sung Ha
Jin.
Hanya dengan durasi tak lebih dari
satu setengah menit, Ha Jin berhenti bergerak. Kini, ia berlutut dengan tangan
kanan terangkat ke langit dan tangan kiri menangkup dada. Wajahnya tertuntuk ke
bawah. Seperti gerakan seorang pangeran berkuda putih yang akan melamar putri
tidurnya. “Kau sudah melihat dan mencoba mengikuti. Sekarang kau harus
menghapal gerakannya.”
“Baiklah, Guru Sung!” angguk
Baekhyun. Berdebat dengan gadis ini tak ada gunanya. Hanya akan menambah
lekukan otak. Lagipula, gerakannya cukup gampang. Lumayan mudah dihapal. Bahkan
mungkin, kini Baekhyun sudah menghapal dua per tiga bagiannya. Dan bila
dipikir-pikir lagi, cara Ha Jin mengajarinya sangat amat efektif. Lihat, ikuti,
dan hapal. Sangat cerdas.
Ha Jin bergerak lagi. Tubuhnya
meliuk-liuk di udara yang ringan, sangat indah. Rambutnya yang tergerai bebas
menari-nari mengikuti gerakan tubuhnya. Bibirnya yang kering sesekali berucap,
menghitung tempo gerakannya. Walau wajahnya tetap tanpa ekspresi, namun
gerakannya sungguh menyiratkan banyak makna. Makna-makna yang sangat tulus.
Seakan dia berbicara melalui gerakannya. Kali ini, dia melakukannya dengan
tempo yang sedikit lebih lambat. Agar Baekhyun mudah menghapalnya.
Tepat saat dua makhluk berbeda
gender itu selesai dengan tariannya, suara tepuk tangan yang kuat dan
bersemangat membelah keheningan. Diiringi dengan sedikit cekikikan yang lebih
terdengar sebagai tawa bergema. “Cha! Sudah waktunya. Kita berangkat ke lokasi.
45 menit lagi kita on air. Ayo! Ha Jin, Baekhyun! Kalian tak akan melewati yang
satu ini.”
“Tentu saja tidak! Setelah saku-ku
bolong dibuat gadis jutek ini!” Seru Baekhyun, sedikit kesal sebenarnya. Tapi
itu semua terasa sepadan. Ha Jin mengajarinya—atau hanya memperlihatkan
tariannya—sampai Baekhyun bisa. Lagipula, itu bukanlah perkara rumit bagi
seorang milyuner seperti Baekhyun.
.
.
.
.
.
“Oppa, tunggu sebentar
uhm? Aku ke toko itu sebentar.”
“Oh? Tapi kalau kau pergi kita bisa
terpencar, In Yeong. Kau mungkin akan tersesat.”
“Oppa! Tak akan. Selama
kau tetap di sini tanpa bergeser sesenti pun, aku akan menemukanku. Kau lupa
aku selalu berhasil menemukanmu? Huh?”
“Hah, pergilah. Kau tahu aku tak
dapat menolak bujukanmu.” Sunggut sang pemuda dengan senyum hangat yang
tersungging manis di bibir tipisnya. “Tapi, lima menit kau tak kembali, aku
pulang.”
“Uhm!” Anggukan semangat dari sang
gadis sebelum dia pergi tertelan tumpah ruah manusia di sekitarnya. Sangat
padat di sini. Dan itu sedikit banyak mampu membuat pemuda itu sesak. Tempat
ini sungguh ramai. Dengan kerlap-kerlip lampu terang yang berlatar
gedung-gedung menjulang serta langit malam yang tanpa bintang. Sebenarnya ini
mengasyikkan. Berpapasan dengan banyak orang baru, membuatmu merasa tak
sendirian.
Jalanan
Myeongdong sedikit melenggang. Pada detik berikutnya, terdengar suara nyanyian
yang sangat nyaring. Seakan sedang ada konser musik di tempat ini. Dan detik
berikutnya lagi, segerombolan orang menyergap pemuda tersebut sambil tersenyum
manis ke arahnya . Mengelilinginya dengan formasi yang cukup sederhana.
Sang
pemuda hanya mampu terperangah. Apa yang
orang-orang ini lakukan? Batinnya mulai bertanya-tanya. Kini, sekelilingnya
tak terdengar lagi hiruk pikuk orang-orang. Semua mansia yang tadi penuh sesak
di jalan ini kini menepi ke pinggiran jalan. Dan menatapnya dengan tatapan
beragam.
Formasi
itu mulai berputar mengelilinginya. Mereka menari. Menari sambil bernyanyi
tepatnya. Sebuah microphone mini yang mencuat dari belakang daun telinga
terpasang manis di depan mulut mereka masing-masing. Sesaat kemudian, formasi
tadi terpecah. Membentuk formasi lain yang terlihat seperti sebuah gerbang.
Seseorang mendorong pemuda itu untuk maju. Berjalan di bawah rentangan tangan yang
berbentuk gerbang tadi.
Dan
di sana, di ujung formasi ini, berdiri seorang Jung In Yeong. Yang semakin
mengejutkan sang pemuda, dia melihat gadis itu telah berganti busana. Kini
gadis itu mengenakan gaun merah marun selutut dipadu dengan sepatu tinggi dan
riasan wajah tipis. Tangan sang gadis menggenggam sebuket bunga yang berwarna
senada dengan gaunnya.
Gadis
itu menyanyi. Dia menyanyikan lagu cinta. Senyum sumringah mengembang sempurna
di bibir penuhnya.
Semua
hal ini membuat si pemuda menjadi sangat bingung. Apa apaan ini? Tarian-tarian
ini, lagu-lagu ini, dan In Yeong. Apa-apaan semua ini?
Semuanya
berhenti bergerak. Semuanya berhenti bersuara. Keheningan sejenak menyelimuti,
membuat In Yeong gugup setengah mati. Seorang gadis datang dari arah sampingnya
dan memberinya sebuah microphone berukuran normal. Selesai
dengan tugasnya, sang gadis pengantar microphone melangkah ke samping. Tanpa
senyum.
Seorang
lain juga memberi sang pemuda sebuah microphone, yang diterimanya dengan senyum
hambar dan sedikit raut bingung.
“Oh
Sehun…” suara In Yeong menggema di kegelapan malam. Menyebuutkan nama pemuda
yang datang ke tempat ini bersamanya. Pemuda yang tadi ditinggalnya untuk
beberapa waktu. Tak ada embel-embel oppa. “Aku, a-aku, (ehem!) Sembilan
tahun mengenalmu, aku merasa nyaman, sangat. Waktu-waktu pertama memang sangat
canggung bagiku. Tapi, kau bisa membuatku beradaptasi dengan cepat. Tak sampai
setahun, aku bahkan lebih akrab denganmu daripada dengan kakakku sendiri. Dua
tahun, kita lebih akrab lagi. Dan di tahun ketiga, saat aku beranjak remaja,
aku mulai merasa ada yang aneh denganku. Dan itu berhubungan langsung dengan
dirimu.
Aku
mulai canggung, seperti saat kita pertama bertemu. Saat menatapmu dalam diam,
aku berdebar dan panas. Aku malu dan kikuk. Hahaha. Dan kau tahu? Tahun-tahun
berikutnya perasaan itu berkembang pesat. Aku mulai mengagumimu, kemudian
menyukaimu, dan kemudian menyayangimu. Dan semakin kesini, aku mencintaimu. Perasaan
ini semakin membuncah, hingga aku hampir meledak rasanya. Menurutku, ini tak
bisa ditahan lagi. Jadi, Oh Sehun, maukah kau menjadi pendampingku?”
Yang
ditanya hanya diam, belum mampu menguasai dirinya kembali. Ini terlalu sulit
dipercaya. Bagaimana mungkin gadis itu melamarnya? Bukankah seharusnya lelaki
yang melamar gadisnya? Dunia sudah jungkir balik rupanya.
Dengan
cepat, Oh Sehun membenahi dirinya yang seakan buyar. Senyum tipis
ditunjukkannya. Apa yang harus dia jawab? Salah sedikit, maka perasaan gadis
itu taruhannya. Kalian tahu, menyakiti perasaan seorang gadis adalah hal paling
bodoh. Lihatlah berapa banyak orang yang menyaksikan acara ini. Dan Oh Sehun
bukanlah seorang brengsek yang akan menolak mentah-mentah tanpa memikirkan
konsekuensinya terhadap sang gadis.
Tapi dia juga tak bisa menerimanya. Sebab, ia tak merasakan apapun terhadap sang gadis.
Tapi dia juga tak bisa menerimanya. Sebab, ia tak merasakan apapun terhadap sang gadis.
Jadi,
dia mencoba merangkai kalimat agar sang gadis mau mengerti. Mau mengerti
tentang apapun jawabannya nanti.
Didekatkannya microphone tadi dengan bibir dan mulai menimang. Otaknya bekerja keras sekarang. Dan cepat atau lambat ia harus menjawab, “Jung In Yeong. Sembilan tahun mengenalmu, membuatku tahu banyak. Kau gadis kuat. Jadi, apapun jawabanku, terimalah.” Tarikan napas dalam sang pemuda membuat In Yeong menahan napas. Sepertinya dia tahu apa jawaban pemuda itu.
Didekatkannya microphone tadi dengan bibir dan mulai menimang. Otaknya bekerja keras sekarang. Dan cepat atau lambat ia harus menjawab, “Jung In Yeong. Sembilan tahun mengenalmu, membuatku tahu banyak. Kau gadis kuat. Jadi, apapun jawabanku, terimalah.” Tarikan napas dalam sang pemuda membuat In Yeong menahan napas. Sepertinya dia tahu apa jawaban pemuda itu.
“Kau
cantik. Banyak pria yang menginginkanmu. Aku tak tahu kenapa kau memilihku. Aku
juga menyayangimu, sangat. Aku menyayangimu sebagai adik, adik yang sangat
istimewa.”
“Ja-jadi,
jawabanmu?”
“Maaf.
Aku tak mungkin mengencani adikku sendiri. Carilah pemuda lain. Hanya pemuda
bodoh yang tak menginginkan dirimu. Buat pengecualian untukku, uhm? Karena aku Oppa-mu.”
“Ya,
Oppa.”
Nada bicara gadis itu sangat lemah. Membuat sang pemuda sedikit banyak merasa
bersalah. Andai ia tak pernah bertemu dengan gadis kecil itu dulu. Pasti gadis
itu tak akan tersakiti. Sehun tahu. Apapun jawabannya, sehalus apapun
bahasanya, gadis itu akan tetap tersakiti. Tapi ia juga tak mau munafik dengan
menerima gadis itu tapi hatinya berkata lain. Hal itu jelas lebih buruk dari
apapun juga.
“Ya,
Oppa.
Dengan kecantikanku, aku pasti bisa mendapatkan pemuda manapun yang kusuka,
‘kan?!” suaranya semakin lemah. Kini matanya berkaca-kaca, siap menumpahkan
segala kepedihan. Tapi ini dihadapan orang banyak, bagaimana mungkin menangis?
Mati-matian dicobanya membendung kepedihan, salah satunya dengan tersenyum.
Senyum yang sangat menyedihkan sebenarnya.
“Tentu
saja!” Senyum sang pemuda bertambah lebar, berusaha menguatkan hati gadis yang
berkaca-kaca di hadapannya. Setetes saja
air matanya jatuh, maka aku adalah penjahat besar. pikirnya dalam diam.
Saat
In Yeong ingin lanjut berbicara, suara debuman keras menghancurkan piramida konsentrasinya.
Gadis pengantar microphone tadi jatuh menghantam bumi. Bibirnya putih dan
pecah-pecah. Mata sipitnya terpejam sempurna. Debu-debu jalanan mengotori kaus
tipis yang dipakainya.
Oh
Sehun membeku di tempatnya. Manatap lekat gadis pucat yang terbaring lemah di
atas aspal. Kulit gadis itu, bagai tak dialiri darah. Dia terlalu putih, tak
normal. Sangat kontras dengan rambutnya yang hitam legam. Beberapa helai rambut
hitamnya terjuntai melewati alis tebal dan bulu matanya yang lentik. Pipinya sangat
tirus, dan bibirnya pecah-pecah sama sekali tak terbantu oleh polesan lipgloss
bening.
“Ha
Jin! Ha Jin!”
Sebelum
seorang pemuda berambut merah menyala mendekat, Sehun melesat secepat angin.
Menyelipkan tangannya di balik punggung gadis itu dan berdiri dengan tergesa.
Pemuda berambut merah tadi mengernyit aneh ke arahnya. “Maaf, kau mengenalnya?”
desis Baekhyun.
“Tidak.
Cepat panggil ambulan.”
In
Yeong melihat hal itu tanpa bergeming. Oh Sehun. Pemuda itu nyaris sempurna.
Segala jenis kebaikan dan keindahan bermuara di dirinya. Pemuda itu seakan
tanpa celah, terlalu berkilauan. Terlintas sekelebat perasaan bangga dalam
hatinya saat pemuda itu dengan sigap meraih si
gadis pengantar microphone. Saat
kebanyakan orang lebih suka mengabaikan, maka pemuda itu berbeda.
“Nona,
sadarlah.” Tepukan-tepukan kecil mendarat di pipi Ha Jin, tepukan yang seakan
mencoba menggenggam kesadarannya. Tapi hal itu tak membantu sama sekali. Ha Jin
sudah terlalu dalam memasuki alam bawah sadarnya. Butuh waktu untuk kembali naik
ke permukaan, bukan begitu?
.
.
.
.
.
“Astaga.”
Desahan pelan meluncur dari bibir pucat Sung Ha Jin. Gadis itu mengedarkan
pandang ke seluruh sudut ruangan. Dia tidak bodoh sama sekali. Dalam hitungan
detik ia langsung mengetahui bahwa ini di rumah sakit. Yeah, siapa yang tak
tahu bau menjijikkan rumah sakit? Dan tempat ini seakan menyudutkan dirinya,
membuatnya merasa lemah.
Seharusnya
ia sedang bekerja sekarang; mengumpulkan sebanyak-banyaknya uang untuk Ha Joon.
Tapi
kenapa pula dinding beku rumah sakit ini mengurungnya? Mengekangnya?
Suara
engsel dan kenop pintu yang memutar terdengar jelas dalam kesepian, membuatnya
menoleh. Pintu besar berwarna putih
dengan kenop perak terbuka, menampilkan sesosok makhluk yang berada di
belakangnya. Sosok itu berjalan terseok, dengan satu kaki menyeret di lantai.
Diikuti sesosok lain di belakangnya yang tersenyum lebar dan menenteng plastik
putih kecil. Sosok yang berjalan terseok tadi terlihat sangat khawatir dan
memperlebar langkah kecilnya agar mendekat.
“Astaga!
Dimana tongkatmu? Kakimu bisa lecet tanpa benda itu. Jangan ceroboh!”
“Kau
tak apa, Kak? Sudah selalu kuingatkan; jangan lupa sarapan. Tapi kau
mengabaikannya. Kau ini tak sayang nyawa, huh?” sambar si pemuda mungil sambil
menggenggam telapak tangan sang kakak erat-erat. Apa-apaan kakaknya ini? Saat
dirinya sendiri terbaring lemah, masih sempat menanyakan perihal tongkat? Lucu
sekali. “Setidaknya, sayangilah nyawamu demi adikmu ini.”
“Hm.
Aku hanya kelelahan.”
“Kelelahan?
Sampai pingsan hampir seharian? Kelelahan apa yang kau tahu seperti itu!”
“Ini
hanya hal biasa, tak perlu sesewot itu, Ha Joon.”
“Tapi
Kak, kau tahu, kau satu-satunya yang kumiliki. Bagaimana jika—“
“Berhentilah
berkata ‘bagaimana jika…’. Itu tak
mengubah apapun.” Ha Jin melepaskan genggaman tangan adiknya. Memalingkan wajah
ke jendela yang mengirimkan udara segar dari taman di luar. Berusaha agar tak
terpancing emosi. Ha Jin sangat menyayangi adiknya. Tapi dia sangat membenci
topic pembicaraan semacam ini.
Sungguh,
‘bagaimana jika…’ adalah hal
menjijikkan. Hidup ini terlalu kejam bahkan hanya untuk sekedar berandai-andai.
“Hei,
Hei! Berhentilah bertengkar. Yang terpenting adalah si nona jutek ini baik-baik
saja dan kau, Ha Joon, tak perlu khawatir.” Sela seorang pemuda yang sedari
tadi mengekor di belakang Ha Joon. Sekilas ditepuknya bahu si pemuda mungil.
Sungguh anak ini, yang harus dewasa sebelum waktunya.
“Diamlah,
Byun Baekhyun!”
.
.
.
.
.
“Nona,
secangkir espresso. Tambahkan juga seporsi kecil croissant almond.”
Sesungging
senyum bisnis yang ditujukan bagi sang pelanggan.
Tarian
jemari mungilnya di atas mesin kasir menyebabkan secarik kertas penuh tulisan
muncul lamat-lamat. Setelah mengambil pesanan dan meletakkannya di atas nampan
berwarna cokelat kecil, sang gadis kembali ke maja kasir. Kemudian menyerahkan
nampan tadi ke arah sang pelanggan. Diikuti dengan secarik kertas bertulis.
Tanpa senyuman lagi—karena ia bosan terus bersikap munafik— dan berkata, “Bill-nya,
Tuan.”
Sang
pelanggan masih sibuk berkutat dengan benda elektronik di genggamannya, tanpa
memperhatikan sang pelayan di hadapannya yang mulai mendengus jenuh karena
masih harus terus mempertahankan senyum palsunya. Dehaman kecil dari si pelayan
pun tak kunjung membuyarkan konsentrasinya dari benda persegi di hadapannya.
“Permisi
Tuan. Ini pesanan anda dan ini bill-nya.”
“Ah!
Ya. Uhm,” kini si pelanggan mengeluarkan lembaran-lembaran uang dari dalam
dompetnya. Kemudian menyodorkannya ke atas pantry licin perpelitur cokelat.
“Ini, kembaliannya tak usah.”
Saat
hendak mengambil nampan pesanannya, si pelanggan menyempatkan diri untuk
menoleh sebentar. Berniat untuk sekedar mengucapkan terimakasih pada si pelayan
dan mungkin sedikit senyum. Itu yang biasa dilaakukan seorang pelanggan kepada
pelayan, ‘kan?
“Eh,
Nona? Kau yang waktu itu, ‘kan? Oho, kau sudah sehat?”
“Maaf,
saya rasa saya tidak mengenal Anda.”
“Secepat
itukah kau lupa, Nona? Kalau begitu, biar kubuat kau ingat. Kenalkan, aku Oh
Sehun,” juluran tangan si pemuda tak lekas bersambut. Karena merasa tak
direspon, tangan itu bergoyang. Bergerak layaknya orang yang bersalaman. “Aku
pemuda yang dilamar di Jalanan Myeongdong. Dan kau pingsan saat itu.”
Dengan
kaku, si pelayan menyambut uluran tangan Sehun. Tangan itu, sangat hangat.
Bahkan tangan Ha Joon tak sehangat itu. Rasanya seperti melihat masa lalu. Saat
seorang wanita keibuan juga melakukan hal yang sama; menggenggam tangannya dan
menyalurkan kehangatan yang sungguh damai diiringi dengan elusan lembut pada
rambutnya.
Tapi
itu hanya masa lalu yang sudah berlalu.
Dan
segala hal tentang masa lalu, meniupkan udara kepedihan bagi dirinya. Seakan
kembali mengoyak jantungnya. Sesegera mungkin, dia menarik tautan jemari
mereka. Semakin lama berjabat tangan, semakin lebar lukanya terbuka.
“Nona, kau menangis?”
“Tidak. Maaf, aku harus kembali
bekerja.” Secepat yang ia bisa, Ha Jin melesat pergi ke dapur. Menyibukkan diri
dengan pekerjaan yang tak seharusnya dilakukan.
Pemuda itu tetap berdiri tegak di
depan meja kasir. Menatap hampa nampan makanannya.
Ini adalah masalah terbesar dalam
hidupnya. Makan sendirian. Biasanya, akan selalu ada seseorang yang menemaninya
makan. Tapi untuk kali ini, tak ada seorangpun yang menemaninya. Dan itu sangat
amat mengkhawatirkan. Tak pernah sekalipun terpikir olehnya akan makan
sendirian.
“Uhm, maaf Nona. Nona, Nona Flashmob.”panggilnya
ragu, gadis it uterus berkutat pada dunia yang diciptakannya sendiri. Dapur dan
meja kasir tak dibatasi oleh sekat apapun. Jadi, mata bening si pemuda dapat
dengan leluasa melihat gadis minim ekspresi tersebut. “Nona, Nona Sung.”
Si gadis menoleh dan dengan ragu
berjalan mendekat. Apa lagi yang diinginkan pemuda ini? “Ya, ada apa Tuan?”
“Uhm, uhm bisakah temani aku makan?
Aku tak makan sendirian.”
“Maaf, Tuan. Aku sibuk, sangat.”
“Oh, ayolah Nona. Aku tak pernah
bisa makan sendirian. Itu membuatku frustasi.”
“Tapi, Tuan. Kau tahu—“
“Baiklah, Tuan. Pelanggan adalah
raja, hm? Ha Jin, kau boleh temani dia.”
Ha Jin mendelik dibalik rambutnya. Apa-apaan ini? Seenaknya saja
atasannya ini.
“Nyonya, sejak kapan seorang panjaga
kasir be—“
“Sejak aku memerintahkanmu. Pergi,
atau tak bergaji. Kau boleh pilih.” Tak bergaji? Lebih baik mati. Dengusan
sebal meluncur lancar dari bibirnya. Atasannya ini memang menyebalkan.
.
.
.
.
.
“Darimana kau tahu namaku?” tak ada
lagi panggilan-panggilan formal seperti sebelumnya.
“Tag name. Benda itu
sangat membantu. Jadi, aku bisa tahu tanpa harus bertanya.”
Lagi dan lagi gadis itu mendengus.
Pemuda di hadapannya ini sungguh konyol. Dan Nyonya Lee—atasannya yang garang
itu—tak pernah lepas mengamati gerak-gerik Ha Jin. Lihat saja matanya itu,
seakan menusukmu. Dan itu menyebalkan. Kenapa pula seorang penjaga kasir malah
duduk di meja pelanggan? Mengamati dan menunggui pelanggannya makan?
Dunia
ini semakin konyol.
Dan
pemuda di hadapannya ini. Lihat seberapa tenang ia. Seakan tak terjadi apapun.
Padahal, ia adalah seorang tersangka kriminal sekarang (jika menculik penjaga
kasir sebagai teman makan dianggap kriminal).
“Nona Sung, bisa tolong tiupkan espresso-nya
untukku?”
“Tidak,
terimakasih.”
Ehem!
Nyonya Lee sibuk bernyanyi di meja kasir, dengan tatapan yang tak
lepas-lepas dari Ha Jin. Tapi, apa pula itu liriknya? Gaji? Jadi, itu adalah ancaman, huh? Licik sekali
kau Nyonya Lee. Sekaligus jahil.
Dengan sangat amat terpaksa,
akhirnya gelas yang mengepulkan uap tipis itu berpindah dalam genggaman tangan
Ha Jin.Gadis itu tak mempedulikan rasa panas yang membakar permukaan kulitnya.
Kekesalannya jauh lebih mendominasi. Pemuda ini, mengapa bisa begitu
menyebalkan?
“Ini!”
“Kau yang minum pertama, aku
setelahnya.”
“Kau gila? Setelah menyeretku
ke sini sesuka nenek moyangmu, kini kau memerintahkanku jadi juru cicip
pribadimu? Jangan harap.”
“Nona, tolonglah. Aku tak meniup
benda panas. Aku alergi akan uapnya, membuatku sulit bernafas setelahnya.”
“Aku tak peduli. Kau bisa tiup
sendiri atau tak sama-sekali.”
Nyonya Lee bernyanyi. Lagi.
Tentang gaji. Dan kali ini dengan suara
yang lebih lantang dari yang tadi. Tapi Soon Hee —berpura-pura—tak
perduli.
“Nona
Sung, kau te—“
“Jangan
kekanakan Tuan Oh.” Ha Jin mendengus terus-terusan. Duduk di sini lima menit ke
depan, maka rambutnya akan berguguran. Pemuda ini begitu menyebalkan. Juga
kekanakan. Ha Jin bingung; apa yang gadis waktu itu idamkan dari pemuda yang
kelewat kekanakan ini? Tak masuk akal.
Sehun
lanjut memakan rotinya, tanpa espresso. Dan itu terasa sangat
hambar—meskipun rotinya bertaburan almond keemasan—bahkan lebih hambar dari air
putih. Tapi Sehun sadar, dia tak boleh terus-menerus merepotkan gadis di
hadapannya tersebut. Keterlaluan jika ia terus merepotkan gadis yang tak
dikenalnya sama sekali.
Tapi,
makan tanpa teman yang mengerti dirinya memang
kelewat menyedihkan.
Tak
ada yang meniupkan makanan panas untuknya.
“Sehun?
Ah, ya! Ternyata benar. Anakku, Ayah merindukanmu!” seru seorang pria paruh
baya dengan antusiasme tinggi. Wajahnya yang penuh kerutan berbinar bahagia.
Matanya hilang terlelan tarikan bibirnya yang menyunggingkan senyum super
sumringah. Pria itu terlihat sangat bahagia.
Dalam
hitungan detik, Sehun bangkit berdiri—hampir terlihat seperti melompat—dan
menerjang pria paruh baya itu. Menelusupkan dirinya dalam dekapan hangat yang
sangat dirindukannya. Mulanya, pria paruh baya itu agak kewalahan menghadapi
respon dari putra semata wayangnya tersebut. Namun, dengan kesigapan pria
sejati, ia dengan cepat menguasai diri dan membalas pelukan hangat Sehun.
Respon
Sehun terlihat terlalu bersemangat.
Tapi
hal tersebut agaknya sangat wajar mengingat dirinya yang tak lagi bertemu
Ayahnya itu dalam kurun waktu yang cukup lama. Sang Ayah terpaksa tinggal di
Eropa demi menyambung hidup, menjalani serangkaian fase yang membantu
jantungnya terus memompa. Dan ingatan ini sedikit banyak menimbulkan pertanyaan
pelik bagi Sehun, yang segera disuarakannya dalam sebuah pertanyaan; “Ayah di
sini? Bagaimana dengan pengobatan Ayah? Astaga, apa Ayah kabur dari rumah
sakit?”
“Hei,
hei! Pelan-pelan.” Tangannya yang berkeritput mendarat mulus di rambut
kecokelatan Oh Sehun, membubuhkan tepukan-tepukan kecil di sana. Kemudian
tersenyum lagi. Putranya ini. Seberapa cepat waktu berlalu. Seakan baru kemarin
anak ini menangis minta dibelikan susu dingin, dan sekarang dia telah menjelma
sebagai pemuda mapan pemegang tampuk kekuasaan. “Dokter Abby membolehkan Ayah
pulang. Kau tahu, nak? Ayah sangat merindukan kalian! Sangat sangat.”
“Ayah…
Aku juga merindukanmu, sangat. Tapi, demi apapun! Kesehatanmu tentu jauh lebih
penting. Aku bisa datang menemui Ayah kapanpun—“
“Tapi
nyatanya kau tak pernah berkunjung. Hahaha.” Ayahnya tertawa. Tawanya sungguh
renyah. Membuat Sehun terenyuh. Benar, ia tak pernah mengunjungi sang ayah.
Walaupun ia sangat menyayangi pria paruh baya tersebut, ia tak pernah
menjenguknya.
“Maaf,
Ayah.” Sehun tertunduk, merenung. Ia terlalu larut dalam pekerjaannya. Tanpa
mengingat Ayahnya. Seketika, Sehun merasa bersalah. Sangat bersalah.
“Hahaha.
Sudahlah. Kau tahu, Ayah selalu memaafkanmu. Tak perlu meminta maaf lain kali.”
Ha
Jin memperhatikan kedua orang ayah-anak itu lekat-lekat. Ayah. Ayah. Ayah.
Kini,
sosok itu seakan khayalan bagi Ha Jin. Karena, sekencang apapun ia memohon, Ayahnya
tak akan hadir lagi. Tak akan pernah.
Gadis
itu duduk membeku di kursinya. Bibirnya berhenti meniupi cangkir. Tangannya
serasa dingin. Tidak, sekujur tubuhnya terasa dingin. Bahkan beku. Kepalanya
berdenyut-denyut dan hatinya serasa tersayat sembilu. Batu karang maha besar
menimpanya kini.
“Oh?
Ini siapa? Kekasihmu?”
Sehun
bingung.
Gadis
ini, bahkan Sehun tak tahu asal-usulnya—walau Sehun percaya padanya. Dengan
lambat dan ragu, pemuda itu mengangguk pelan. “Y-ya Ayah.”
Ha
Jin tersentak. Ya katanya? Apa-apaan
pemuda gila ini? Apa urat syarafnya putus? Secepat kilat, Ha Jin menoleh kea
rah Sehun. Mengirimkan tatapan mematikan yang sarat akan keseriusan. Dirinya
sudah cukup sial bertemu pemuda itu. Dan kini? Kesialan apa lagi yang
dibuatnya?! Gila!
Sehun
bergidik, ngeri. Tapi kini, Ayah adalah prioritas utamanya. Ayahnya telah lama
mendesaknya menemukan pendamping. Dan tak seorangpun gadis yang dekat dengan
Sehun, kecuali In Yeong—gadis itu sudah dianggap anak oleh ayak ibu Sehun. Tapi kini, membantah sama artinya dengan
menggiring Ayahnya ke liang lahat. Sama artinya dengan mengubur ayahnya
hidup-hidup.
Tentu
saja Ayahnya tak menerima penolakan. Penyakit jantungnya bisa kambuh
sewaktu-waktu.
Bibir
tipis pemuda itu bergerak seiringan, berbicara tanpa bersuara. Mengisyaratkan
pada Ha Jin agar gadis itu berkata ya. Terdengar
egois memang. Dan gadis itu tentu saja melancarkan penolakan keras. Tapi Sehun tak menyerah. Ia memohon melalui
pandangan matanya.
Dan
kini, Ha Jin jadi beribukali lebih gila daripada Oh Sehun.
Dia
mengangguk. Sung Ha Jin mengangguk. Entah apa yang membuatnya mengangguk, tak
pasti. Yang jelas, tatapan pemuda itu mempu dipercaya, dan Ha Jin memilih untuk
memercayainya. Seketika Ha Jin merasa seperti manekin. Tapi di sisi lain—entah
mengapa—ia merasa lega saat mengangguk dan berkata ya.
Megikuti
insting, Ha Jin berdiri kemudian tersenyum tulus. Tulus yang benar-benar tulus.
Tubuh mungilnya membungkuk, memberi penghormatan pada pria paruh baya itu. Dan
pria itu tersenyum jauh lebih terang dari yang sebelumnya. “Nama saya Sung Ha
Jin. Mohon bantuannya.”
“Ya!
Sehun, kau memilih gadis yang tepat. Lihat betapa santunnya ia!” seru ayahnya
girang. Senyum tak kunjung luntur dari wajah rentanya. “Cepatlah menikah.
Umurku semakin lanjut, dan aku sering mengkhawatirkan beberapa hal belakangan
ini.”
Ha
Jin merasa terhempas ke permukaan lantai berduri. Ternyata, anggukan singkatnya
berakhir penyesalan mendalam. Ternyata kata ya
darinya mampu menjungkirbalikkan keadaan.
Namun,
dengan gilanya, ada sepercik rasa percaya muncul ke permukaan. Percaya pada
pemuda menyebalkan yang baru ditemuinya tak kurang dari seperempat jam lalu.
Percaya
pada dia, OH SEHUN.
.
.
.
.
.
END
.
.
.
.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar