Cie cie yang jomblo, kalau sakit gak ada yang bilang GWS TT_TT
Get Well Soon. Ini fenomena alam sosmed loh ya.
Lihat PM di bbm bikin iri aja uh. Yang sakit (baik sakit beneran atau sakit status doang) pasti deh di GWS-in sama siapaa kek gitu. Pacarnya lah, temennya lah, sahabatlah, atau siapa lah. Yang lebih nge-jlebnya lagi, setelah kata-kata sakral itu tuh, biasanya pasti ada emot-emot yang gak kalah sakralnya. Emot peluklah, emot kiss-kiss menggelikan lah, emot senyum ga jelas lah. Kebayang gak sih, betapa bahagianya orang yang di GWS-in ituh? Kebayang dong. Kan kalau ada yang ngeGWSin, berarti ada yang perduli sama kita.
Nah yang Jomblo-jomblo luar biasa ini gimana coba? Boro-boro ada yang GWS-in, yang ngingetin makan aja ga ada. Kurang ngenes apalagi coba. ckckck. Biarpun sakitnya serius dan gak cuma sakit status doang, tetep aja gak ada yang ngeGWS-in. Kurang malang apalagi coba.
Tapi itulah jomblo. Jomblo udah ditakdirkan begitu, ya mau bilang apa lagi. Tapi kan GWS yang istimewa gak cuma berasal dari pacar kan. GWS dari temen, keluarga sendiri, keluarga orang (ngaco) juga lebih istimewa. Apalagi dari mimi dan pipi, makin top dah itu GWSnya. Jadi mblo,jangan sedih kalau ga dapat GWSan dari pacar. Masih banyak kok orang-orang di luar sana yang tanpa perlu bilang GWS, tapi di dalam hati dia ngedo'ain supaya cepat sembuh. Kan gitu lebih keren. Daripada di sosmed bilang GWS, tapi di dalam hati ngomongnya "cepat mati aja deh lu". Kan seram.
See, Saw, and Seen
Rabu, 08 Oktober 2014
Rabu, 22 Januari 2014
Pita Merah Muda
Title : Pita Merah Muda
Author : TatanTumis
Cast : Oh Sehun, A girl (you/reader)
Genre : Fluff, Romance
Rating : G
Length : Oneshoot
Disclaimer : I do not own the cast but the storyline pure mine.
.
Happy Reading
.
Oh Sehun
adalah pemuda teraneh yang pernah kukenal dan aku punya alibi yang sangat cukup
untuk menguatkan pernyataan barusan.
Pertama.
Dia selalu manyantap kentang goreng dengan es krim dan es krim dengan saus
sambal. Tanpa penjelasan, bahkan balita sekalipun pasti tahu bahwa es krim
bukanlah pasangan yang serasi bagi saus sambal. Menurutku, saus sambal dan es
krim—dia lebih sering menyantap es krim vanilla—adalah versi lain dari air dan
api yang tak akan bisa bersatu. Tapi Oh Sehun justru melanggar hukum alam
dengan menyatukan keduanya. Bukankah itu aneh, atau lebih dari aneh? Yang
teraneh dari yang paling aneh.
Kedua.
Dia tak pernah menaruh uang tunainya di dalam dompet—aku bahkan ragu dia punya
dompet atau tidak. Dia selalu menaruh uang dalam saku celana belakang bagian
kiri dan kartu ATM dalam saku depan bagian kanan. Aku sempat memprotes
kebiasaan anehnya itu. Hei, tentu saja kartu ATM itu benda yang sangat penting.
Dengan hanya menaruhnya di dalam saku celana, persentasenya hilangnya pasti
meningkat berkali-kali lipat. Bagaimana jika benda itu hilang? Tentu saja itu
akan sangat merepotkan. Tapi dengan ajaibnya, tak pernah sekalipun benda itu
hilang.
Well, masih ada segudang fakta yang
menunjukkan batapa anehnya seorang Oh Sehun. Akan menghabiskan seluruh hidup
untuk membahas semuanya satu per satu—dan aku tak punya waktu seumur hidup
hanya untuk menjelaskan keanehannya.
Tapi
aku lebih aneh darinya. Jauh lebih aneh lagi karena aku terpesona olehnya.
Jangan
tanya awal mula aku yang terpesona padanya; akupun tak ingat. Yang kuingat
hanya Oh Sehun adalah tetangga baruku saat aku 10 tahun dan tahu-tahu aku sudah
terpesona olehnya. Aku lantas bertransformasi dari anak ingusan yang gemar
bermain tanah menjadi anak perempuan normal dengan gaun kembang motif
bunga-bunga dan rambut berpita merah muda yang selalu berjalan di belakangnya
hanya untuk menguntit. Saat aku berumur 13, aku tak lagi berjalan di
belakangnya karena mulai saat itu aku selalu berjalan di sampingnya dengan dia
yang menggenggam tanganku. Dan untuk
seterusnya, tak ada orang lain yang boleh berjalan di sebelahku kecuali Oh
Sehun. Kata Sehun, aku memang sudah ditakdirkan untuk berjalan di sampingnya sambil
menggenggam tangannya. Aku tahu aku hanya akan melihatnya, dan begitu pula
sebaliknya.
Oh
Sehun itu milikku dan aku milik Oh Sehun. Tak seorang pun dapat mengingkari
itu.
.
.
“Sehun?”
“Hm?”
“Kau
selalu menyantap es krim dengan saus sambal. Aku hanya ingin bertanya, apakah
itu mengasyikkan?” Ia terlihat berhenti menyuapi es krim ke mulutnya dan
menatap ke arahku dengan alis terangkat sebelah. Ah, aku tak begitu suka
ekspresi itu. Dengan sekali tarikan napas, aku lantas meluruskan kesalahpahaman
ini, “Well, maksudku apakah kau
menikmatinya? Mengapa?”
Ia
nampak berpikir sebelum menampakkan senyumnya yang —demi tujuh lapis bumi dan langit—sungguh
meneduhkan. “Kau harus mencobanya. Ini
lebih dari menyenangkan, terutama untukku. Kau tahu, aku bukanlah penyuka
makanan manis. Tapi saus sambal sangat membantuku mengubah rasanya.”
“Aku
tahu. Tapi rasannya agak ganjil. Kalau kau tak suka makanan manis, seharusnya
kau tak perlu repot-repot memakan es krim itu.”
Ia
tergelak ringan, menciptakan semacam garis yang melengkung di sisi hidung
mancungnya. Bulan sabit menelan matanya.Kini dia terlihat 6 tahun lebih muda dari
seharusnya. Aku terkadang heran, bagaimana bisa seorang pemuda 23 tahun
terlihat seperti remaja 17 tahun dan aku yang masih 21 tahun bahkan terlihat
seperti wanita karir di atas 25 tahun.
Oh Sehun memang pelanggar hukum alam—meski tak dikehendakinya.
“Ini
semacam toleransi. Sama seperti halnya saat kita berjalan beriringan. Kau tentu
berusaha untuk mengimbangi langkahku dengan memperlebar langkahmu sendiri agar
kita bisa berada pada garis lurus yang sama. Aku juga sedang melakukan hal itu saat ini. Agar
tak seorang pun dari kita tertinggal di belakang atau terlalu maju ke depan.”
“Ah,
begitu.”
“Hn.”
Aku
sedikit tercenung dengan perkataannya barusan. Tak sekalipun aku pernah
memikirkan hal itu. Aku memang bukan orang yang kritis. Aku lebih sering menganggap
remeh hal-hal seperti itu. Tapi Sehun seakan melengkapi segala kekuranganku.
Dengannya, aku menjadi lebih kritis daripada saat aku sendirian. Misalnya saja
seperti membeli makanan ringan. Saat aku berbelanja sendirian, aku hanya akan
mengangkut makanan kesukaanku dalam troli dan membayarnya di kasir. Tapi saat
bersama pemuda itu, ia akan meneliti tanggal kadaluarsa, kandungan gizi, lemak,
bahkan bahan-bahan pembuatannya.
Saat
akan menggeser mangkuk es krim ku, tak sengaja aku melihat secarik kertas penuh
warna yang terselip di balik mangkuknya. Segera saja kuraih kertas itu dan
membacanya dengan penasaran. Kertas itu hanya seukuran kartu nama dan di
selipkan di bawah mangkukku dengan double
tape. Warna kertas itu bercampur-campur dengan gambar ceria di sana-sini.
Ternyata
ini adalah hadiah karena aku adalah pengunjung ke sekian dari kedai es krim
melegenda ini, betapa beruntungnya. Tapi apa hadiahnya? VOUCHER WISATA UNTUK DUA ORANG. Wisata. Dan aku bisa memilih
sendiri tujuanku. Hanya satu tempat tujuan dengan waktu kunjungan satu minggu
dan fasilitas lengkap gratis, hanya dalam kawasan Asia. Demi apapun! Ini lebih
dari indah.
Aku
bahagia, lebih dari bahagia. Tentunya aku tak bisa tak bahagia. Perutku
tergelitik memikirkannya, tapi aku belum bisa tersenyum saking terkejutnya.
Jantungku berdentum dahsyat dan darahku mengalir menuju pipi.
“Se-Sehun?”
panggilku gagap, masih terlalu takjub akan kertas kecil di tanganku. Ini
seperti mimpi. Aku bahkan tak pernah naik pesawat sebelumnya dan tahu-tahu kini
aku mendapat sesuatu seperti ini, tentu saja aku takjub bukan main. Hei! Ini
hebat sekali! “K-kau harus melihatnya. Ini keajaiban.”
Dia
lantas mengambil kertas itu dalam diam. Matanya menyusuri baris per baris
tulisan itu tanpa perubahan ekspresi apapun. Dan di akhir dia hanya tersenyum
tipis sambil menyodorkan kertas itu padaku. Oh Sehun, seharusnya dia ikut bahagia.
Itu adalah hadiah terindah yang pernah kuterima. “Beruntung sekali.”
“Tentu
saja. Tanganku memang selalu mengalirkan keberuntungan. Ya Tuhan, aku sungguh
bahagia.” Tak ingin terlalu sesumbar, aku menatap lekat-lekat kertas itu dan
menekan kegembiraanku yang agaknya berlebihan.
Belum tentu aku bisa pergi. Aku harus meminta izin ayah dan ibu. Dan
sepertinya itu adalah hal yang cukup sulit dilakukan mengingat ayahku yang over protective, yang bahkan tak
mengizinkanku menginap di rumah sahabat terdekatku. “Tapi... apa ayah atau ibu
akan memberi lampu hijau?” gumamku lesu.
“Tapi
Sehun. Kau punya tempat impian yang selalu berada di top list mu?” tentu saja setiap orang punya tempat impian, ‘kan? Akupun
begitu. Tapi sayang, tempat impianku sungguh jauh bahkan dari Asia
sekalipun. Yah, mungkin aku akan memilih
Jepang jika lingkupnya hanya di Asia. Sepertinya Jepang itu cukup menggiurkan.
“Kalau
aku, aku sungguh ingin ke Finlandia. Aku sungguh penasaran dengan sistem
pendidikan di sana, keadaan alamnya juga. Tak tahu mengapa, Finlandia itu menyilaukan mataku. Bahkan keindahan
Paris tak mampu menggeser Finlandia dalam daftar tempat impianku. Suatu saat
aku harus datang ke sana. Tapi jujur saja aku sedikit ragu jika mengingat
kemampuan Bahasa Inggrisku yang setara dengan pelajar Sekolah Menengah Pertama.
Hah, seharusnya dulu aku mendengarkan Mrs. Jung saat menjelaskan. Penyesalan memang selalu datang di belakang.
Ah aku melenceng jauh dari topik pembicaraan. ...bagaimana denganmu Sehun?
Dimana tempat impianmu?” jelasku dalam beberapa kali tarikan napas
“Rasanya
aku ingin sekali ke gereja saat ini. Tapi sebelumnya aku harus mempersiapkan
beberapa hal terlebih dahulu.”
“Eh?
Gereja? Yaampun, kau sungguh religi—“
“Mungkin
aku juga harus menjemput ayah dan ibumu serta ayah dan ibuku atau mungkin
beberapa kerabat.” Senyum tipisnya berubah jadi seringai setan yang memabukkan.
Ada apa denganmu, Oh Sehun. “Sepertinya juga aku harus menyiapkan beberapa hal
penting lain—cathering, musik
pengiring, busana, ornamen, interior—serta dokumen sebelum memasuki gereja.
Merepotkan, tapi aku akan menyukai itu.”
“Hei!
Kau tak butuh dokumen apapun untuk memasuki ge—“
“Tentu
aku butuh dokumen-dokumen yang akan merubah margamu menjadi Oh. Hm, calon
nyonya Oh?”
.
.
The End
.
.
Yosh. Semoga suka, reader-deul ^^ Sebagai author yang masih
abal, Kritik dan Saran selalu diterima dengan senang hati XDD tanda keberadaan
kalian adalah semacam napas buat author *cieileeeee XDD
Mampir yuk, ke WP pribadi author *evil laugh mwahahaha XDD
ini dia: ladymilky
Btw, itu Sehunnya
gombal yaaa? XDD
Story only: 1.185 word
Medan, 11 Januari 2014
Selasa, 10 September 2013
Mrs. Flashmob
Title : Mrs. Flashmob
Author : TatanTumis
Cast : Sung Ha Jin
Oh Sehun
Sung Ha Joon
Jung In Yeong
Byun Baek Hyun
Genre : Hurt/Comfort
Length : Oneshoot
Rating : G
Disclaimer
:Semua tokoh yang ada di dalam cerita hanya milik Tuhan.
Summary
: Anggukan
singkatnya berakhir penyesalan mendalam. Ternyata kata ya darinya mampu menjungkirbalikkan keadaan.Namun, dengan gilanya,
ada sepercik rasa percaya muncul ke permukaan. Percaya pada pemuda menyebalkan
yang baru ditemuinya tak kurang dari seperempat jam lalu.
Percaya
pada dia, OH SEHUN.
.
HAPPY
READING
.
.
“Argh!”
teriakan-teriakan pilu dengan nada melengking—sangat—pada bagian akhirnya.
Menggetarkan gendang telinga, seakan mampu menulikan yang mendengar.
Cairan-cairan bening asin mulai menyeruak dari balik pori-pori kulitnya yang
kering, membasahi sekujur tubuhnya. Teriakan pilu itu terus terdengar. Dengan
kepiluan yang bertingkat lagi, menyayat hati.
Kelopak
matanya membuka, menunjukkan retina mata berwarna kecoklatan dengan genangan air
mata di setiap sudut pelupuknya. Tangannya yang kasar menangkup kedua daun
telinga, mencegah suara-suara dari pulau kapuk itu agar tak terdengar olehnya.
Tapi percuma, semakin erat dia menutup daun telinganya, semakin erat pula mimpi
itu mendekapnya. Seakan-akan memori itu sudah mengalir dalam darahnya, menyebar
ke seluruh sel dalam tubuhnya, dan meracuni otaknya. Memori itu, tak akan
pernah berkurang intensitas kejelasannya.
Begitu
juga dengan teriakannya. Walaupun sudah tersadar dari buaian pulau kapuk,
jeritan itu tak kunjung mereda. Justru semakin melengking. Gelengan kepalanya
tak jua melenyapkan jeritan itu.
“Kakak! Kak! Tenanglah. Aku disini.
Aku memelukmu, kak. Kau aman.” Tangan mungil nan hangat yang melingkar pas di
pinggulnya perlahan tapi pasti mampu menenangkannya. Ombak badai telah surut.
Walau tak menutup kemungkinan suatu saat akan terjadi lagi.
“Ha Joon.” Cicitnya, masih dengan
napas terengah. Segera disambarnya lengan laki-laki kecil itu, memeluknya.
Menyurukkan kepalanya ke sela leher Ha Joon. Air mata mulai jatuh membasahi
wajahnya, menambah kesan menyedihkan yang semula melekat padanya.
“Uhm? Aku di sini,” Tangan mungil Ha
Joon mengelus singkat punggung sang kakak. Punggung itu, yang bahkan lebih
tegap daripada punggungnya sendiri sebagai seorang laki-laki. Punggung yang
selalu menjadi perisai baginya. “Mimpi lagi.”
Anggukan singkat memperjelas
suasana.
Inilah sebabnya sang kakak selalu
terjaga saat langit mengggelap. Hidup layaknya kelelawar, nokturnal. Saat
semuanya terpejam, seorang Sung Ha Jin tetap terjaga. Bahkan saat siang pun, ia
tak pernah tidur yang benar-benar tidur. Bagaimana dia bisa tidur saat di luar
sana banyak pekerjaan yang menunggu untuk di kerjakan? Saat banyak upah yang
menunggu untuk diraup.
“Itu seperti napasku. Akan selalu
hadir.” Tangisnya mereda. Ia sebagai kakak harus kuat di hadapan adiknya,
tentu. “Akan selalu hadir. Akan selalu hadir.”
“Itu akan pergi suatu saat. Mungkin
secepatnya, jika kakak berusaha melupakannya. Lihatlah ke depan, jangan menoleh
ke belakang. Karena menoleh ke belakang hanya akan membuatmu mengenang.” Tangan
hangat Ha Joon berpindah ke bahu kakaknya, melepas pelukannya. Kemudian menatap
lekat iris cokelat sang Kakak. Dan sumpah demi tujuh lapis langit, mata itu
menyimpan berjuta kepedihan.
“Bagaimana caranya? Aku selalu
mencoba, tapi selalu gagal. Saat tidur, dia hadir lagi. Lagi. Dan lagi.” Ha Jin
menjambak rambutnya lalu memukul-mukul kepalanya dengan kepalan tangan
kokohnya. Dipikirnya, mungkin lebih baik tanpa kepala, tanpa mata. Karena
matalah penyebab memori itu bisa masuk ke otaknya.
Tangan Ha Joon mengepal kuat lalu
berteriak hingga urat lehernya menonjol. Ia berteriak bukan tanpa alasan; sang
kakak terlalu larut dalam masa lalu. Hingga terkadang seakan ia hidup di masa lalu.
“Berhenti memukul kepalamu, kakak! Bagaimana dia bisa pergi jika kau selalu
begitu? Mimpi itu tak akan terhapus jika kau selalu menebalkan ukirannya!”
Ha Jin berhenti. Tangannya terkulai
di kedua sisi tubuhnya. Baru kali ini Ha Joon berteriak padanya. Ternyata, sang
adik sudah besar. Dan sudah bisa membentaknya. Hal itu sedikit banyak membuat
hatinya terenyuh. Secepat itukah waktu
berlalu? Jika ya, mengapa harus begitu?
.
.
.
.
.
“Aku pergi.”
Saat pintu bercat cokelat susu itu
terbuka, angin berhembus menerbangkan anak rambut sang gadis, seakan
membelainya lembut. Gumpalan awan lembut dan langit biru cerah seakan
menyambutnya ramah. Tapi, seakan segala keindahan itu tak seberapa, sang gadis
hanya melangkah dengan tatapan datar tanpa minat.
Seakan tak pernah berpapasan dengan
siapapun, gadis itu hanya melangkah tanpa pernah menyapa. Menurutnya, hal itu
hanya akan membuang waktunya yang berharga. Toh, menyapa orang-orang tak akan
memberinya uang. See? Itu sama sekali tak menguntungkan, ‘kan?
Lima belokan ke kanan, tiga belokan
ke kiri, dua perempatan, dan satu jembatan penyebrangan untuk sampai di coffe
shop tempatnya bekerja. Suara nyaring lonceng saat pintu terbuka dan
setelahnya hiruk pikuk suasana di dalam manyambutnya. Dengan sedikit musik yang
hampir tak terdengar lantaran teredam suara ocehan pelanggan, kakinya melangkah
ke ruang ganti.
Dengan kemeja kream sebatas siku dan
apron cokelat tebal bermotif biji kopi dan roti, sang gadis kembali melangkah.
Tujuannya; meja kasir. Seyum seketika tersungging di bibir ranumnya. Bukan
senyum yang sebenarnya. Hanya senyum bisnis. Agar pelanggannya tak bosan untuk
datang lagi. Semakin banyak pelanggan, semakin banyak tips.
“Selamat pagi. Ada yang bisa saya
bantu?”
Dengusan bosan dan senyum bisnis yang
luntur. Ha Jin muak, sungguh. Tersenyum dan berpura-pura beramah-tamah adalah
hal yang sangat menjijikkan. Sangat tak sesuai dengan perangainya. Dan semakin
kesini, ini semakin terasa konyol. Seakan ia mengenakan topeng, berpura-pura.
.
.
.
.
.
“Hei! Aku lupa gerakan terakhirnya!
Bagaimana ini? Ho ho ho…” gerutuan terdengar meluncur manis dari bibir seorang
pemuda berambut merah menyala dengan style yang kelewat update.
Matanya yang berpoles eyeliner tebal terlihat mengerut,
sama halnya dengan bibirnya yang mengerucut. “Oh, ayolah! Sung Ha Jin, ajari
aku! Kau satu-satunya yang bisa diandalkan. Demi Tuhan! Ini tinggal satu jam
lagi, tak lebih.”
“Aku lelah.”
“Oh, ayolah, Sung Ha Jin yang manis.
Ya ya?”
“Aku tahu aku manis, bahkan dunia
sudah mengakuinya. Tapi kau baru sadar sekarang? Bodoh.” Dengan wajahnya yang
tetap datar, tanpa sepercikpun emosi, Sung Ha Jin merogoh lokernya acuh tak
acuh. Mengabaikan pemuda yang saat ini memohon dengan wajah memelas di
sebelahnya.
“Tiga porsi besar pizza, sampai di rumah saat kau ingin.”
“Ti—“
“Tiga hari berturut-turut.”
“Sepakat!” Penghematan uang belanja
selama tiga hari, mungkin. Tiga porsi besar pizza perhari dan hanya
perlu berbagi dengan Ha Joon. Itu sudah lebih dari kenyang. Daripada hanya
makan roti keras yang hampir berjamur? Tentu tawaran Baekhyun—pemuda di
sebelahnya—terasa sangat berkilauan, menggiurkan.
“Huh! Materialistis!”
“Hn. Perhatikan. Aku hanya akan
melakukannya dua kali.”
“Kau curang! Pizza itu mahal, da—
HEI!” Tanpa aba-aba, Ha Jin bergerak. Menari dengan anggunnya, gerakannya
sangat bersih. Jernih. Baekhyun kewalahan, ia tertinggal beberapa gerakan.
Bisa-bisa tak hapal sama sekali jika begini caranya. Cerdik sekali kau, Sung Ha
Jin.
Hanya dengan durasi tak lebih dari
satu setengah menit, Ha Jin berhenti bergerak. Kini, ia berlutut dengan tangan
kanan terangkat ke langit dan tangan kiri menangkup dada. Wajahnya tertuntuk ke
bawah. Seperti gerakan seorang pangeran berkuda putih yang akan melamar putri
tidurnya. “Kau sudah melihat dan mencoba mengikuti. Sekarang kau harus
menghapal gerakannya.”
“Baiklah, Guru Sung!” angguk
Baekhyun. Berdebat dengan gadis ini tak ada gunanya. Hanya akan menambah
lekukan otak. Lagipula, gerakannya cukup gampang. Lumayan mudah dihapal. Bahkan
mungkin, kini Baekhyun sudah menghapal dua per tiga bagiannya. Dan bila
dipikir-pikir lagi, cara Ha Jin mengajarinya sangat amat efektif. Lihat, ikuti,
dan hapal. Sangat cerdas.
Ha Jin bergerak lagi. Tubuhnya
meliuk-liuk di udara yang ringan, sangat indah. Rambutnya yang tergerai bebas
menari-nari mengikuti gerakan tubuhnya. Bibirnya yang kering sesekali berucap,
menghitung tempo gerakannya. Walau wajahnya tetap tanpa ekspresi, namun
gerakannya sungguh menyiratkan banyak makna. Makna-makna yang sangat tulus.
Seakan dia berbicara melalui gerakannya. Kali ini, dia melakukannya dengan
tempo yang sedikit lebih lambat. Agar Baekhyun mudah menghapalnya.
Tepat saat dua makhluk berbeda
gender itu selesai dengan tariannya, suara tepuk tangan yang kuat dan
bersemangat membelah keheningan. Diiringi dengan sedikit cekikikan yang lebih
terdengar sebagai tawa bergema. “Cha! Sudah waktunya. Kita berangkat ke lokasi.
45 menit lagi kita on air. Ayo! Ha Jin, Baekhyun! Kalian tak akan melewati yang
satu ini.”
“Tentu saja tidak! Setelah saku-ku
bolong dibuat gadis jutek ini!” Seru Baekhyun, sedikit kesal sebenarnya. Tapi
itu semua terasa sepadan. Ha Jin mengajarinya—atau hanya memperlihatkan
tariannya—sampai Baekhyun bisa. Lagipula, itu bukanlah perkara rumit bagi
seorang milyuner seperti Baekhyun.
.
.
.
.
.
“Oppa, tunggu sebentar
uhm? Aku ke toko itu sebentar.”
“Oh? Tapi kalau kau pergi kita bisa
terpencar, In Yeong. Kau mungkin akan tersesat.”
“Oppa! Tak akan. Selama
kau tetap di sini tanpa bergeser sesenti pun, aku akan menemukanku. Kau lupa
aku selalu berhasil menemukanmu? Huh?”
“Hah, pergilah. Kau tahu aku tak
dapat menolak bujukanmu.” Sunggut sang pemuda dengan senyum hangat yang
tersungging manis di bibir tipisnya. “Tapi, lima menit kau tak kembali, aku
pulang.”
“Uhm!” Anggukan semangat dari sang
gadis sebelum dia pergi tertelan tumpah ruah manusia di sekitarnya. Sangat
padat di sini. Dan itu sedikit banyak mampu membuat pemuda itu sesak. Tempat
ini sungguh ramai. Dengan kerlap-kerlip lampu terang yang berlatar
gedung-gedung menjulang serta langit malam yang tanpa bintang. Sebenarnya ini
mengasyikkan. Berpapasan dengan banyak orang baru, membuatmu merasa tak
sendirian.
Jalanan
Myeongdong sedikit melenggang. Pada detik berikutnya, terdengar suara nyanyian
yang sangat nyaring. Seakan sedang ada konser musik di tempat ini. Dan detik
berikutnya lagi, segerombolan orang menyergap pemuda tersebut sambil tersenyum
manis ke arahnya . Mengelilinginya dengan formasi yang cukup sederhana.
Sang
pemuda hanya mampu terperangah. Apa yang
orang-orang ini lakukan? Batinnya mulai bertanya-tanya. Kini, sekelilingnya
tak terdengar lagi hiruk pikuk orang-orang. Semua mansia yang tadi penuh sesak
di jalan ini kini menepi ke pinggiran jalan. Dan menatapnya dengan tatapan
beragam.
Formasi
itu mulai berputar mengelilinginya. Mereka menari. Menari sambil bernyanyi
tepatnya. Sebuah microphone mini yang mencuat dari belakang daun telinga
terpasang manis di depan mulut mereka masing-masing. Sesaat kemudian, formasi
tadi terpecah. Membentuk formasi lain yang terlihat seperti sebuah gerbang.
Seseorang mendorong pemuda itu untuk maju. Berjalan di bawah rentangan tangan yang
berbentuk gerbang tadi.
Dan
di sana, di ujung formasi ini, berdiri seorang Jung In Yeong. Yang semakin
mengejutkan sang pemuda, dia melihat gadis itu telah berganti busana. Kini
gadis itu mengenakan gaun merah marun selutut dipadu dengan sepatu tinggi dan
riasan wajah tipis. Tangan sang gadis menggenggam sebuket bunga yang berwarna
senada dengan gaunnya.
Gadis
itu menyanyi. Dia menyanyikan lagu cinta. Senyum sumringah mengembang sempurna
di bibir penuhnya.
Semua
hal ini membuat si pemuda menjadi sangat bingung. Apa apaan ini? Tarian-tarian
ini, lagu-lagu ini, dan In Yeong. Apa-apaan semua ini?
Semuanya
berhenti bergerak. Semuanya berhenti bersuara. Keheningan sejenak menyelimuti,
membuat In Yeong gugup setengah mati. Seorang gadis datang dari arah sampingnya
dan memberinya sebuah microphone berukuran normal. Selesai
dengan tugasnya, sang gadis pengantar microphone melangkah ke samping. Tanpa
senyum.
Seorang
lain juga memberi sang pemuda sebuah microphone, yang diterimanya dengan senyum
hambar dan sedikit raut bingung.
“Oh
Sehun…” suara In Yeong menggema di kegelapan malam. Menyebuutkan nama pemuda
yang datang ke tempat ini bersamanya. Pemuda yang tadi ditinggalnya untuk
beberapa waktu. Tak ada embel-embel oppa. “Aku, a-aku, (ehem!) Sembilan
tahun mengenalmu, aku merasa nyaman, sangat. Waktu-waktu pertama memang sangat
canggung bagiku. Tapi, kau bisa membuatku beradaptasi dengan cepat. Tak sampai
setahun, aku bahkan lebih akrab denganmu daripada dengan kakakku sendiri. Dua
tahun, kita lebih akrab lagi. Dan di tahun ketiga, saat aku beranjak remaja,
aku mulai merasa ada yang aneh denganku. Dan itu berhubungan langsung dengan
dirimu.
Aku
mulai canggung, seperti saat kita pertama bertemu. Saat menatapmu dalam diam,
aku berdebar dan panas. Aku malu dan kikuk. Hahaha. Dan kau tahu? Tahun-tahun
berikutnya perasaan itu berkembang pesat. Aku mulai mengagumimu, kemudian
menyukaimu, dan kemudian menyayangimu. Dan semakin kesini, aku mencintaimu. Perasaan
ini semakin membuncah, hingga aku hampir meledak rasanya. Menurutku, ini tak
bisa ditahan lagi. Jadi, Oh Sehun, maukah kau menjadi pendampingku?”
Yang
ditanya hanya diam, belum mampu menguasai dirinya kembali. Ini terlalu sulit
dipercaya. Bagaimana mungkin gadis itu melamarnya? Bukankah seharusnya lelaki
yang melamar gadisnya? Dunia sudah jungkir balik rupanya.
Dengan
cepat, Oh Sehun membenahi dirinya yang seakan buyar. Senyum tipis
ditunjukkannya. Apa yang harus dia jawab? Salah sedikit, maka perasaan gadis
itu taruhannya. Kalian tahu, menyakiti perasaan seorang gadis adalah hal paling
bodoh. Lihatlah berapa banyak orang yang menyaksikan acara ini. Dan Oh Sehun
bukanlah seorang brengsek yang akan menolak mentah-mentah tanpa memikirkan
konsekuensinya terhadap sang gadis.
Tapi dia juga tak bisa menerimanya. Sebab, ia tak merasakan apapun terhadap sang gadis.
Tapi dia juga tak bisa menerimanya. Sebab, ia tak merasakan apapun terhadap sang gadis.
Jadi,
dia mencoba merangkai kalimat agar sang gadis mau mengerti. Mau mengerti
tentang apapun jawabannya nanti.
Didekatkannya microphone tadi dengan bibir dan mulai menimang. Otaknya bekerja keras sekarang. Dan cepat atau lambat ia harus menjawab, “Jung In Yeong. Sembilan tahun mengenalmu, membuatku tahu banyak. Kau gadis kuat. Jadi, apapun jawabanku, terimalah.” Tarikan napas dalam sang pemuda membuat In Yeong menahan napas. Sepertinya dia tahu apa jawaban pemuda itu.
Didekatkannya microphone tadi dengan bibir dan mulai menimang. Otaknya bekerja keras sekarang. Dan cepat atau lambat ia harus menjawab, “Jung In Yeong. Sembilan tahun mengenalmu, membuatku tahu banyak. Kau gadis kuat. Jadi, apapun jawabanku, terimalah.” Tarikan napas dalam sang pemuda membuat In Yeong menahan napas. Sepertinya dia tahu apa jawaban pemuda itu.
“Kau
cantik. Banyak pria yang menginginkanmu. Aku tak tahu kenapa kau memilihku. Aku
juga menyayangimu, sangat. Aku menyayangimu sebagai adik, adik yang sangat
istimewa.”
“Ja-jadi,
jawabanmu?”
“Maaf.
Aku tak mungkin mengencani adikku sendiri. Carilah pemuda lain. Hanya pemuda
bodoh yang tak menginginkan dirimu. Buat pengecualian untukku, uhm? Karena aku Oppa-mu.”
“Ya,
Oppa.”
Nada bicara gadis itu sangat lemah. Membuat sang pemuda sedikit banyak merasa
bersalah. Andai ia tak pernah bertemu dengan gadis kecil itu dulu. Pasti gadis
itu tak akan tersakiti. Sehun tahu. Apapun jawabannya, sehalus apapun
bahasanya, gadis itu akan tetap tersakiti. Tapi ia juga tak mau munafik dengan
menerima gadis itu tapi hatinya berkata lain. Hal itu jelas lebih buruk dari
apapun juga.
“Ya,
Oppa.
Dengan kecantikanku, aku pasti bisa mendapatkan pemuda manapun yang kusuka,
‘kan?!” suaranya semakin lemah. Kini matanya berkaca-kaca, siap menumpahkan
segala kepedihan. Tapi ini dihadapan orang banyak, bagaimana mungkin menangis?
Mati-matian dicobanya membendung kepedihan, salah satunya dengan tersenyum.
Senyum yang sangat menyedihkan sebenarnya.
“Tentu
saja!” Senyum sang pemuda bertambah lebar, berusaha menguatkan hati gadis yang
berkaca-kaca di hadapannya. Setetes saja
air matanya jatuh, maka aku adalah penjahat besar. pikirnya dalam diam.
Saat
In Yeong ingin lanjut berbicara, suara debuman keras menghancurkan piramida konsentrasinya.
Gadis pengantar microphone tadi jatuh menghantam bumi. Bibirnya putih dan
pecah-pecah. Mata sipitnya terpejam sempurna. Debu-debu jalanan mengotori kaus
tipis yang dipakainya.
Oh
Sehun membeku di tempatnya. Manatap lekat gadis pucat yang terbaring lemah di
atas aspal. Kulit gadis itu, bagai tak dialiri darah. Dia terlalu putih, tak
normal. Sangat kontras dengan rambutnya yang hitam legam. Beberapa helai rambut
hitamnya terjuntai melewati alis tebal dan bulu matanya yang lentik. Pipinya sangat
tirus, dan bibirnya pecah-pecah sama sekali tak terbantu oleh polesan lipgloss
bening.
“Ha
Jin! Ha Jin!”
Sebelum
seorang pemuda berambut merah menyala mendekat, Sehun melesat secepat angin.
Menyelipkan tangannya di balik punggung gadis itu dan berdiri dengan tergesa.
Pemuda berambut merah tadi mengernyit aneh ke arahnya. “Maaf, kau mengenalnya?”
desis Baekhyun.
“Tidak.
Cepat panggil ambulan.”
In
Yeong melihat hal itu tanpa bergeming. Oh Sehun. Pemuda itu nyaris sempurna.
Segala jenis kebaikan dan keindahan bermuara di dirinya. Pemuda itu seakan
tanpa celah, terlalu berkilauan. Terlintas sekelebat perasaan bangga dalam
hatinya saat pemuda itu dengan sigap meraih si
gadis pengantar microphone. Saat
kebanyakan orang lebih suka mengabaikan, maka pemuda itu berbeda.
“Nona,
sadarlah.” Tepukan-tepukan kecil mendarat di pipi Ha Jin, tepukan yang seakan
mencoba menggenggam kesadarannya. Tapi hal itu tak membantu sama sekali. Ha Jin
sudah terlalu dalam memasuki alam bawah sadarnya. Butuh waktu untuk kembali naik
ke permukaan, bukan begitu?
.
.
.
.
.
“Astaga.”
Desahan pelan meluncur dari bibir pucat Sung Ha Jin. Gadis itu mengedarkan
pandang ke seluruh sudut ruangan. Dia tidak bodoh sama sekali. Dalam hitungan
detik ia langsung mengetahui bahwa ini di rumah sakit. Yeah, siapa yang tak
tahu bau menjijikkan rumah sakit? Dan tempat ini seakan menyudutkan dirinya,
membuatnya merasa lemah.
Seharusnya
ia sedang bekerja sekarang; mengumpulkan sebanyak-banyaknya uang untuk Ha Joon.
Tapi
kenapa pula dinding beku rumah sakit ini mengurungnya? Mengekangnya?
Suara
engsel dan kenop pintu yang memutar terdengar jelas dalam kesepian, membuatnya
menoleh. Pintu besar berwarna putih
dengan kenop perak terbuka, menampilkan sesosok makhluk yang berada di
belakangnya. Sosok itu berjalan terseok, dengan satu kaki menyeret di lantai.
Diikuti sesosok lain di belakangnya yang tersenyum lebar dan menenteng plastik
putih kecil. Sosok yang berjalan terseok tadi terlihat sangat khawatir dan
memperlebar langkah kecilnya agar mendekat.
“Astaga!
Dimana tongkatmu? Kakimu bisa lecet tanpa benda itu. Jangan ceroboh!”
“Kau
tak apa, Kak? Sudah selalu kuingatkan; jangan lupa sarapan. Tapi kau
mengabaikannya. Kau ini tak sayang nyawa, huh?” sambar si pemuda mungil sambil
menggenggam telapak tangan sang kakak erat-erat. Apa-apaan kakaknya ini? Saat
dirinya sendiri terbaring lemah, masih sempat menanyakan perihal tongkat? Lucu
sekali. “Setidaknya, sayangilah nyawamu demi adikmu ini.”
“Hm.
Aku hanya kelelahan.”
“Kelelahan?
Sampai pingsan hampir seharian? Kelelahan apa yang kau tahu seperti itu!”
“Ini
hanya hal biasa, tak perlu sesewot itu, Ha Joon.”
“Tapi
Kak, kau tahu, kau satu-satunya yang kumiliki. Bagaimana jika—“
“Berhentilah
berkata ‘bagaimana jika…’. Itu tak
mengubah apapun.” Ha Jin melepaskan genggaman tangan adiknya. Memalingkan wajah
ke jendela yang mengirimkan udara segar dari taman di luar. Berusaha agar tak
terpancing emosi. Ha Jin sangat menyayangi adiknya. Tapi dia sangat membenci
topic pembicaraan semacam ini.
Sungguh,
‘bagaimana jika…’ adalah hal
menjijikkan. Hidup ini terlalu kejam bahkan hanya untuk sekedar berandai-andai.
“Hei,
Hei! Berhentilah bertengkar. Yang terpenting adalah si nona jutek ini baik-baik
saja dan kau, Ha Joon, tak perlu khawatir.” Sela seorang pemuda yang sedari
tadi mengekor di belakang Ha Joon. Sekilas ditepuknya bahu si pemuda mungil.
Sungguh anak ini, yang harus dewasa sebelum waktunya.
“Diamlah,
Byun Baekhyun!”
.
.
.
.
.
“Nona,
secangkir espresso. Tambahkan juga seporsi kecil croissant almond.”
Sesungging
senyum bisnis yang ditujukan bagi sang pelanggan.
Tarian
jemari mungilnya di atas mesin kasir menyebabkan secarik kertas penuh tulisan
muncul lamat-lamat. Setelah mengambil pesanan dan meletakkannya di atas nampan
berwarna cokelat kecil, sang gadis kembali ke maja kasir. Kemudian menyerahkan
nampan tadi ke arah sang pelanggan. Diikuti dengan secarik kertas bertulis.
Tanpa senyuman lagi—karena ia bosan terus bersikap munafik— dan berkata, “Bill-nya,
Tuan.”
Sang
pelanggan masih sibuk berkutat dengan benda elektronik di genggamannya, tanpa
memperhatikan sang pelayan di hadapannya yang mulai mendengus jenuh karena
masih harus terus mempertahankan senyum palsunya. Dehaman kecil dari si pelayan
pun tak kunjung membuyarkan konsentrasinya dari benda persegi di hadapannya.
“Permisi
Tuan. Ini pesanan anda dan ini bill-nya.”
“Ah!
Ya. Uhm,” kini si pelanggan mengeluarkan lembaran-lembaran uang dari dalam
dompetnya. Kemudian menyodorkannya ke atas pantry licin perpelitur cokelat.
“Ini, kembaliannya tak usah.”
Saat
hendak mengambil nampan pesanannya, si pelanggan menyempatkan diri untuk
menoleh sebentar. Berniat untuk sekedar mengucapkan terimakasih pada si pelayan
dan mungkin sedikit senyum. Itu yang biasa dilaakukan seorang pelanggan kepada
pelayan, ‘kan?
“Eh,
Nona? Kau yang waktu itu, ‘kan? Oho, kau sudah sehat?”
“Maaf,
saya rasa saya tidak mengenal Anda.”
“Secepat
itukah kau lupa, Nona? Kalau begitu, biar kubuat kau ingat. Kenalkan, aku Oh
Sehun,” juluran tangan si pemuda tak lekas bersambut. Karena merasa tak
direspon, tangan itu bergoyang. Bergerak layaknya orang yang bersalaman. “Aku
pemuda yang dilamar di Jalanan Myeongdong. Dan kau pingsan saat itu.”
Dengan
kaku, si pelayan menyambut uluran tangan Sehun. Tangan itu, sangat hangat.
Bahkan tangan Ha Joon tak sehangat itu. Rasanya seperti melihat masa lalu. Saat
seorang wanita keibuan juga melakukan hal yang sama; menggenggam tangannya dan
menyalurkan kehangatan yang sungguh damai diiringi dengan elusan lembut pada
rambutnya.
Tapi
itu hanya masa lalu yang sudah berlalu.
Dan
segala hal tentang masa lalu, meniupkan udara kepedihan bagi dirinya. Seakan
kembali mengoyak jantungnya. Sesegera mungkin, dia menarik tautan jemari
mereka. Semakin lama berjabat tangan, semakin lebar lukanya terbuka.
“Nona, kau menangis?”
“Tidak. Maaf, aku harus kembali
bekerja.” Secepat yang ia bisa, Ha Jin melesat pergi ke dapur. Menyibukkan diri
dengan pekerjaan yang tak seharusnya dilakukan.
Pemuda itu tetap berdiri tegak di
depan meja kasir. Menatap hampa nampan makanannya.
Ini adalah masalah terbesar dalam
hidupnya. Makan sendirian. Biasanya, akan selalu ada seseorang yang menemaninya
makan. Tapi untuk kali ini, tak ada seorangpun yang menemaninya. Dan itu sangat
amat mengkhawatirkan. Tak pernah sekalipun terpikir olehnya akan makan
sendirian.
“Uhm, maaf Nona. Nona, Nona Flashmob.”panggilnya
ragu, gadis it uterus berkutat pada dunia yang diciptakannya sendiri. Dapur dan
meja kasir tak dibatasi oleh sekat apapun. Jadi, mata bening si pemuda dapat
dengan leluasa melihat gadis minim ekspresi tersebut. “Nona, Nona Sung.”
Si gadis menoleh dan dengan ragu
berjalan mendekat. Apa lagi yang diinginkan pemuda ini? “Ya, ada apa Tuan?”
“Uhm, uhm bisakah temani aku makan?
Aku tak makan sendirian.”
“Maaf, Tuan. Aku sibuk, sangat.”
“Oh, ayolah Nona. Aku tak pernah
bisa makan sendirian. Itu membuatku frustasi.”
“Tapi, Tuan. Kau tahu—“
“Baiklah, Tuan. Pelanggan adalah
raja, hm? Ha Jin, kau boleh temani dia.”
Ha Jin mendelik dibalik rambutnya. Apa-apaan ini? Seenaknya saja
atasannya ini.
“Nyonya, sejak kapan seorang panjaga
kasir be—“
“Sejak aku memerintahkanmu. Pergi,
atau tak bergaji. Kau boleh pilih.” Tak bergaji? Lebih baik mati. Dengusan
sebal meluncur lancar dari bibirnya. Atasannya ini memang menyebalkan.
.
.
.
.
.
“Darimana kau tahu namaku?” tak ada
lagi panggilan-panggilan formal seperti sebelumnya.
“Tag name. Benda itu
sangat membantu. Jadi, aku bisa tahu tanpa harus bertanya.”
Lagi dan lagi gadis itu mendengus.
Pemuda di hadapannya ini sungguh konyol. Dan Nyonya Lee—atasannya yang garang
itu—tak pernah lepas mengamati gerak-gerik Ha Jin. Lihat saja matanya itu,
seakan menusukmu. Dan itu menyebalkan. Kenapa pula seorang penjaga kasir malah
duduk di meja pelanggan? Mengamati dan menunggui pelanggannya makan?
Dunia
ini semakin konyol.
Dan
pemuda di hadapannya ini. Lihat seberapa tenang ia. Seakan tak terjadi apapun.
Padahal, ia adalah seorang tersangka kriminal sekarang (jika menculik penjaga
kasir sebagai teman makan dianggap kriminal).
“Nona Sung, bisa tolong tiupkan espresso-nya
untukku?”
“Tidak,
terimakasih.”
Ehem!
Nyonya Lee sibuk bernyanyi di meja kasir, dengan tatapan yang tak
lepas-lepas dari Ha Jin. Tapi, apa pula itu liriknya? Gaji? Jadi, itu adalah ancaman, huh? Licik sekali
kau Nyonya Lee. Sekaligus jahil.
Dengan sangat amat terpaksa,
akhirnya gelas yang mengepulkan uap tipis itu berpindah dalam genggaman tangan
Ha Jin.Gadis itu tak mempedulikan rasa panas yang membakar permukaan kulitnya.
Kekesalannya jauh lebih mendominasi. Pemuda ini, mengapa bisa begitu
menyebalkan?
“Ini!”
“Kau yang minum pertama, aku
setelahnya.”
“Kau gila? Setelah menyeretku
ke sini sesuka nenek moyangmu, kini kau memerintahkanku jadi juru cicip
pribadimu? Jangan harap.”
“Nona, tolonglah. Aku tak meniup
benda panas. Aku alergi akan uapnya, membuatku sulit bernafas setelahnya.”
“Aku tak peduli. Kau bisa tiup
sendiri atau tak sama-sekali.”
Nyonya Lee bernyanyi. Lagi.
Tentang gaji. Dan kali ini dengan suara
yang lebih lantang dari yang tadi. Tapi Soon Hee —berpura-pura—tak
perduli.
“Nona
Sung, kau te—“
“Jangan
kekanakan Tuan Oh.” Ha Jin mendengus terus-terusan. Duduk di sini lima menit ke
depan, maka rambutnya akan berguguran. Pemuda ini begitu menyebalkan. Juga
kekanakan. Ha Jin bingung; apa yang gadis waktu itu idamkan dari pemuda yang
kelewat kekanakan ini? Tak masuk akal.
Sehun
lanjut memakan rotinya, tanpa espresso. Dan itu terasa sangat
hambar—meskipun rotinya bertaburan almond keemasan—bahkan lebih hambar dari air
putih. Tapi Sehun sadar, dia tak boleh terus-menerus merepotkan gadis di
hadapannya tersebut. Keterlaluan jika ia terus merepotkan gadis yang tak
dikenalnya sama sekali.
Tapi,
makan tanpa teman yang mengerti dirinya memang
kelewat menyedihkan.
Tak
ada yang meniupkan makanan panas untuknya.
“Sehun?
Ah, ya! Ternyata benar. Anakku, Ayah merindukanmu!” seru seorang pria paruh
baya dengan antusiasme tinggi. Wajahnya yang penuh kerutan berbinar bahagia.
Matanya hilang terlelan tarikan bibirnya yang menyunggingkan senyum super
sumringah. Pria itu terlihat sangat bahagia.
Dalam
hitungan detik, Sehun bangkit berdiri—hampir terlihat seperti melompat—dan
menerjang pria paruh baya itu. Menelusupkan dirinya dalam dekapan hangat yang
sangat dirindukannya. Mulanya, pria paruh baya itu agak kewalahan menghadapi
respon dari putra semata wayangnya tersebut. Namun, dengan kesigapan pria
sejati, ia dengan cepat menguasai diri dan membalas pelukan hangat Sehun.
Respon
Sehun terlihat terlalu bersemangat.
Tapi
hal tersebut agaknya sangat wajar mengingat dirinya yang tak lagi bertemu
Ayahnya itu dalam kurun waktu yang cukup lama. Sang Ayah terpaksa tinggal di
Eropa demi menyambung hidup, menjalani serangkaian fase yang membantu
jantungnya terus memompa. Dan ingatan ini sedikit banyak menimbulkan pertanyaan
pelik bagi Sehun, yang segera disuarakannya dalam sebuah pertanyaan; “Ayah di
sini? Bagaimana dengan pengobatan Ayah? Astaga, apa Ayah kabur dari rumah
sakit?”
“Hei,
hei! Pelan-pelan.” Tangannya yang berkeritput mendarat mulus di rambut
kecokelatan Oh Sehun, membubuhkan tepukan-tepukan kecil di sana. Kemudian
tersenyum lagi. Putranya ini. Seberapa cepat waktu berlalu. Seakan baru kemarin
anak ini menangis minta dibelikan susu dingin, dan sekarang dia telah menjelma
sebagai pemuda mapan pemegang tampuk kekuasaan. “Dokter Abby membolehkan Ayah
pulang. Kau tahu, nak? Ayah sangat merindukan kalian! Sangat sangat.”
“Ayah…
Aku juga merindukanmu, sangat. Tapi, demi apapun! Kesehatanmu tentu jauh lebih
penting. Aku bisa datang menemui Ayah kapanpun—“
“Tapi
nyatanya kau tak pernah berkunjung. Hahaha.” Ayahnya tertawa. Tawanya sungguh
renyah. Membuat Sehun terenyuh. Benar, ia tak pernah mengunjungi sang ayah.
Walaupun ia sangat menyayangi pria paruh baya tersebut, ia tak pernah
menjenguknya.
“Maaf,
Ayah.” Sehun tertunduk, merenung. Ia terlalu larut dalam pekerjaannya. Tanpa
mengingat Ayahnya. Seketika, Sehun merasa bersalah. Sangat bersalah.
“Hahaha.
Sudahlah. Kau tahu, Ayah selalu memaafkanmu. Tak perlu meminta maaf lain kali.”
Ha
Jin memperhatikan kedua orang ayah-anak itu lekat-lekat. Ayah. Ayah. Ayah.
Kini,
sosok itu seakan khayalan bagi Ha Jin. Karena, sekencang apapun ia memohon, Ayahnya
tak akan hadir lagi. Tak akan pernah.
Gadis
itu duduk membeku di kursinya. Bibirnya berhenti meniupi cangkir. Tangannya
serasa dingin. Tidak, sekujur tubuhnya terasa dingin. Bahkan beku. Kepalanya
berdenyut-denyut dan hatinya serasa tersayat sembilu. Batu karang maha besar
menimpanya kini.
“Oh?
Ini siapa? Kekasihmu?”
Sehun
bingung.
Gadis
ini, bahkan Sehun tak tahu asal-usulnya—walau Sehun percaya padanya. Dengan
lambat dan ragu, pemuda itu mengangguk pelan. “Y-ya Ayah.”
Ha
Jin tersentak. Ya katanya? Apa-apaan
pemuda gila ini? Apa urat syarafnya putus? Secepat kilat, Ha Jin menoleh kea
rah Sehun. Mengirimkan tatapan mematikan yang sarat akan keseriusan. Dirinya
sudah cukup sial bertemu pemuda itu. Dan kini? Kesialan apa lagi yang
dibuatnya?! Gila!
Sehun
bergidik, ngeri. Tapi kini, Ayah adalah prioritas utamanya. Ayahnya telah lama
mendesaknya menemukan pendamping. Dan tak seorangpun gadis yang dekat dengan
Sehun, kecuali In Yeong—gadis itu sudah dianggap anak oleh ayak ibu Sehun. Tapi kini, membantah sama artinya dengan
menggiring Ayahnya ke liang lahat. Sama artinya dengan mengubur ayahnya
hidup-hidup.
Tentu
saja Ayahnya tak menerima penolakan. Penyakit jantungnya bisa kambuh
sewaktu-waktu.
Bibir
tipis pemuda itu bergerak seiringan, berbicara tanpa bersuara. Mengisyaratkan
pada Ha Jin agar gadis itu berkata ya. Terdengar
egois memang. Dan gadis itu tentu saja melancarkan penolakan keras. Tapi Sehun tak menyerah. Ia memohon melalui
pandangan matanya.
Dan
kini, Ha Jin jadi beribukali lebih gila daripada Oh Sehun.
Dia
mengangguk. Sung Ha Jin mengangguk. Entah apa yang membuatnya mengangguk, tak
pasti. Yang jelas, tatapan pemuda itu mempu dipercaya, dan Ha Jin memilih untuk
memercayainya. Seketika Ha Jin merasa seperti manekin. Tapi di sisi lain—entah
mengapa—ia merasa lega saat mengangguk dan berkata ya.
Megikuti
insting, Ha Jin berdiri kemudian tersenyum tulus. Tulus yang benar-benar tulus.
Tubuh mungilnya membungkuk, memberi penghormatan pada pria paruh baya itu. Dan
pria itu tersenyum jauh lebih terang dari yang sebelumnya. “Nama saya Sung Ha
Jin. Mohon bantuannya.”
“Ya!
Sehun, kau memilih gadis yang tepat. Lihat betapa santunnya ia!” seru ayahnya
girang. Senyum tak kunjung luntur dari wajah rentanya. “Cepatlah menikah.
Umurku semakin lanjut, dan aku sering mengkhawatirkan beberapa hal belakangan
ini.”
Ha
Jin merasa terhempas ke permukaan lantai berduri. Ternyata, anggukan singkatnya
berakhir penyesalan mendalam. Ternyata kata ya
darinya mampu menjungkirbalikkan keadaan.
Namun,
dengan gilanya, ada sepercik rasa percaya muncul ke permukaan. Percaya pada
pemuda menyebalkan yang baru ditemuinya tak kurang dari seperempat jam lalu.
Percaya
pada dia, OH SEHUN.
.
.
.
.
.
END
.
.
.
.
.
Langganan:
Postingan (Atom)