Rabu, 08 Oktober 2014

GWS (Get Well Soon) VS Jomblo

Cie cie yang jomblo, kalau sakit gak ada yang bilang GWS TT_TT

Get Well Soon. Ini fenomena alam sosmed loh ya.

Lihat PM di bbm bikin iri aja uh. Yang sakit (baik sakit beneran atau sakit status doang) pasti deh di GWS-in sama siapaa kek gitu. Pacarnya lah, temennya lah, sahabatlah, atau siapa lah. Yang lebih nge-jlebnya lagi, setelah kata-kata sakral itu tuh, biasanya pasti ada emot-emot yang gak kalah sakralnya. Emot peluklah, emot kiss-kiss menggelikan lah, emot senyum ga jelas lah. Kebayang gak sih, betapa bahagianya orang yang di GWS-in ituh? Kebayang dong. Kan kalau ada yang ngeGWSin, berarti ada yang perduli sama kita.

Nah yang Jomblo-jomblo luar biasa ini gimana coba? Boro-boro ada yang GWS-in, yang ngingetin makan aja ga ada. Kurang ngenes apalagi coba. ckckck. Biarpun sakitnya serius dan gak cuma sakit status doang, tetep aja gak ada yang ngeGWS-in. Kurang malang apalagi coba.

Tapi itulah jomblo. Jomblo udah ditakdirkan begitu, ya mau bilang apa lagi. Tapi kan GWS yang istimewa gak cuma berasal dari pacar kan. GWS dari temen, keluarga sendiri, keluarga orang (ngaco) juga lebih istimewa. Apalagi dari mimi dan pipi, makin top dah itu GWSnya. Jadi mblo,jangan sedih kalau ga dapat GWSan dari pacar. Masih banyak kok orang-orang di luar sana yang tanpa perlu bilang GWS, tapi di dalam hati dia ngedo'ain supaya cepat sembuh. Kan gitu lebih keren. Daripada di sosmed bilang GWS, tapi di dalam hati ngomongnya "cepat mati aja deh lu". Kan seram.

Rabu, 22 Januari 2014

Pita Merah Muda



Title : Pita Merah Muda
 Author : TatanTumis
Cast : Oh Sehun, A girl (you/reader)
Genre : Fluff, Romance
Rating : G
Length : Oneshoot
Disclaimer : I do not own the cast but the storyline pure mine.
.
Happy Reading
.

Oh Sehun adalah pemuda teraneh yang pernah kukenal dan aku punya alibi yang sangat cukup untuk menguatkan pernyataan barusan.
                Pertama. Dia selalu manyantap kentang goreng dengan es krim dan es krim dengan saus sambal. Tanpa penjelasan, bahkan balita sekalipun pasti tahu bahwa es krim bukanlah pasangan yang serasi bagi saus sambal. Menurutku, saus sambal dan es krim—dia lebih sering menyantap es krim vanilla—adalah versi lain dari air dan api yang tak akan bisa bersatu. Tapi Oh Sehun justru melanggar hukum alam dengan menyatukan keduanya. Bukankah itu aneh, atau lebih dari aneh? Yang teraneh dari yang paling aneh.
                Kedua. Dia tak pernah menaruh uang tunainya di dalam dompet—aku bahkan ragu dia punya dompet atau tidak. Dia selalu menaruh uang dalam saku celana belakang bagian kiri dan kartu ATM dalam saku depan bagian kanan. Aku sempat memprotes kebiasaan anehnya itu. Hei, tentu saja kartu ATM itu benda yang sangat penting. Dengan hanya menaruhnya di dalam saku celana, persentasenya hilangnya pasti meningkat berkali-kali lipat. Bagaimana jika benda itu hilang? Tentu saja itu akan sangat merepotkan. Tapi dengan ajaibnya, tak pernah sekalipun benda itu hilang.
                Well, masih ada segudang fakta yang menunjukkan batapa anehnya seorang Oh Sehun. Akan menghabiskan seluruh hidup untuk membahas semuanya satu per satu—dan aku tak punya waktu seumur hidup hanya untuk menjelaskan keanehannya.
                Tapi aku lebih aneh darinya. Jauh lebih aneh lagi karena aku terpesona olehnya.
                Jangan tanya awal mula aku yang terpesona padanya; akupun tak ingat. Yang kuingat hanya Oh Sehun adalah tetangga baruku saat aku 10 tahun dan tahu-tahu aku sudah terpesona olehnya. Aku lantas bertransformasi dari anak ingusan yang gemar bermain tanah menjadi anak perempuan normal dengan gaun kembang motif bunga-bunga dan rambut berpita merah muda yang selalu berjalan di belakangnya hanya untuk menguntit. Saat aku berumur 13, aku tak lagi berjalan di belakangnya karena mulai saat itu aku selalu berjalan di sampingnya dengan dia yang menggenggam tanganku.  Dan untuk seterusnya, tak ada orang lain yang boleh berjalan di sebelahku kecuali Oh Sehun. Kata Sehun, aku memang sudah ditakdirkan untuk berjalan di sampingnya sambil menggenggam tangannya. Aku tahu aku hanya akan melihatnya, dan begitu pula sebaliknya.
                Oh Sehun itu milikku dan aku milik Oh Sehun. Tak seorang pun dapat mengingkari itu.
.
.
                “Sehun?”
                “Hm?”
                “Kau selalu menyantap es krim dengan saus sambal. Aku hanya ingin bertanya, apakah itu mengasyikkan?” Ia terlihat berhenti menyuapi es krim ke mulutnya dan menatap ke arahku dengan alis terangkat sebelah. Ah, aku tak begitu suka ekspresi itu. Dengan sekali tarikan napas, aku lantas meluruskan kesalahpahaman ini, “Well, maksudku apakah kau menikmatinya? Mengapa?”
                Ia nampak berpikir sebelum menampakkan senyumnya yang —demi tujuh lapis bumi dan langit—sungguh meneduhkan.  “Kau harus mencobanya. Ini lebih dari menyenangkan, terutama untukku. Kau tahu, aku bukanlah penyuka makanan manis. Tapi saus sambal sangat membantuku mengubah rasanya.”
                “Aku tahu. Tapi rasannya agak ganjil. Kalau kau tak suka makanan manis, seharusnya kau tak perlu repot-repot memakan es krim itu.”
                Ia tergelak ringan, menciptakan semacam garis yang melengkung di sisi hidung mancungnya. Bulan sabit menelan matanya.Kini dia terlihat 6 tahun lebih muda dari seharusnya. Aku terkadang heran, bagaimana bisa seorang pemuda 23 tahun terlihat seperti remaja 17 tahun dan aku yang masih 21 tahun bahkan terlihat seperti wanita karir di atas 25 tahun.  Oh Sehun memang pelanggar hukum alam—meski tak dikehendakinya.
                “Ini semacam toleransi. Sama seperti halnya saat kita berjalan beriringan. Kau tentu berusaha untuk mengimbangi langkahku dengan memperlebar langkahmu sendiri agar kita bisa berada pada garis lurus yang sama.  Aku juga sedang melakukan hal itu saat ini. Agar tak seorang pun dari kita tertinggal di belakang atau terlalu maju ke depan.”
                “Ah, begitu.”
                “Hn.”
                Aku sedikit tercenung dengan perkataannya barusan. Tak sekalipun aku pernah memikirkan hal itu. Aku memang bukan orang yang kritis. Aku lebih sering menganggap remeh hal-hal seperti itu. Tapi Sehun seakan melengkapi segala kekuranganku. Dengannya, aku menjadi lebih kritis daripada saat aku sendirian. Misalnya saja seperti membeli makanan ringan. Saat aku berbelanja sendirian, aku hanya akan mengangkut makanan kesukaanku dalam troli dan membayarnya di kasir. Tapi saat bersama pemuda itu, ia akan meneliti tanggal kadaluarsa, kandungan gizi, lemak, bahkan bahan-bahan pembuatannya.
                Saat akan menggeser mangkuk es krim ku, tak sengaja aku melihat secarik kertas penuh warna yang terselip di balik mangkuknya. Segera saja kuraih kertas itu dan membacanya dengan penasaran. Kertas itu hanya seukuran kartu nama dan di selipkan di bawah mangkukku dengan double tape. Warna kertas itu bercampur-campur dengan gambar ceria di sana-sini.
                Ternyata ini adalah hadiah karena aku adalah pengunjung ke sekian dari kedai es krim melegenda ini, betapa beruntungnya. Tapi apa hadiahnya? VOUCHER WISATA UNTUK DUA ORANG. Wisata. Dan aku bisa memilih sendiri tujuanku. Hanya satu tempat tujuan dengan waktu kunjungan satu minggu dan fasilitas lengkap gratis, hanya dalam kawasan Asia. Demi apapun! Ini lebih dari indah.
                Aku bahagia, lebih dari bahagia. Tentunya aku tak bisa tak bahagia. Perutku tergelitik memikirkannya, tapi aku belum bisa tersenyum saking terkejutnya. Jantungku berdentum dahsyat dan darahku mengalir menuju pipi.
                “Se-Sehun?” panggilku gagap, masih terlalu takjub akan kertas kecil di tanganku. Ini seperti mimpi. Aku bahkan tak pernah naik pesawat sebelumnya dan tahu-tahu kini aku mendapat sesuatu seperti ini, tentu saja aku takjub bukan main. Hei! Ini hebat sekali! “K-kau harus melihatnya. Ini keajaiban.”
                Dia lantas mengambil kertas itu dalam diam. Matanya menyusuri baris per baris tulisan itu tanpa perubahan ekspresi apapun. Dan di akhir dia hanya tersenyum tipis sambil menyodorkan kertas itu padaku. Oh Sehun, seharusnya dia ikut bahagia. Itu adalah hadiah terindah yang pernah kuterima. “Beruntung sekali.”
                “Tentu saja. Tanganku memang selalu mengalirkan keberuntungan. Ya Tuhan, aku sungguh bahagia.” Tak ingin terlalu sesumbar, aku menatap lekat-lekat kertas itu dan menekan kegembiraanku yang agaknya berlebihan.  Belum tentu aku bisa pergi. Aku harus meminta izin ayah dan ibu. Dan sepertinya itu adalah hal yang cukup sulit dilakukan mengingat ayahku yang over protective, yang bahkan tak mengizinkanku menginap di rumah sahabat terdekatku. “Tapi... apa ayah atau ibu akan memberi lampu hijau?” gumamku lesu.
                “Tapi Sehun. Kau punya tempat impian yang selalu berada di top list mu?” tentu saja setiap orang punya tempat impian, ‘kan? Akupun begitu. Tapi sayang, tempat impianku sungguh jauh bahkan dari Asia sekalipun.  Yah, mungkin aku akan memilih Jepang jika lingkupnya hanya di Asia. Sepertinya Jepang itu cukup menggiurkan.
                “Kalau aku, aku sungguh ingin ke Finlandia. Aku sungguh penasaran dengan sistem pendidikan di sana, keadaan alamnya juga. Tak tahu mengapa, Finlandia  itu menyilaukan mataku. Bahkan keindahan Paris tak mampu menggeser Finlandia dalam daftar tempat impianku. Suatu saat aku harus datang ke sana. Tapi jujur saja aku sedikit ragu jika mengingat kemampuan Bahasa Inggrisku yang setara dengan pelajar Sekolah Menengah Pertama. Hah, seharusnya dulu aku mendengarkan Mrs. Jung saat menjelaskan.  Penyesalan memang selalu datang di belakang. Ah aku melenceng jauh dari topik pembicaraan. ...bagaimana denganmu Sehun? Dimana tempat impianmu?” jelasku dalam beberapa kali tarikan napas
                “Rasanya aku ingin sekali ke gereja saat ini. Tapi sebelumnya aku harus mempersiapkan beberapa hal terlebih dahulu.”
                “Eh? Gereja? Yaampun, kau sungguh religi—“
                “Mungkin aku juga harus menjemput ayah dan ibumu serta ayah dan ibuku atau mungkin beberapa kerabat.” Senyum tipisnya berubah jadi seringai setan yang memabukkan. Ada apa denganmu, Oh Sehun. “Sepertinya juga aku harus menyiapkan beberapa hal penting lain—cathering, musik pengiring, busana, ornamen, interior—serta dokumen sebelum memasuki gereja. Merepotkan, tapi aku akan menyukai itu.”
                “Hei! Kau tak butuh dokumen apapun untuk memasuki ge—“
                “Tentu aku butuh dokumen-dokumen yang akan merubah margamu menjadi Oh. Hm, calon nyonya Oh?”
.
.
The End
.
.
Yosh. Semoga suka, reader-deul ^^ Sebagai author yang masih abal, Kritik dan Saran selalu diterima dengan senang hati XDD tanda keberadaan kalian adalah semacam napas buat author *cieileeeee XDD
Mampir yuk, ke WP pribadi author *evil laugh mwahahaha XDD ini dia: ladymilky
 Btw, itu Sehunnya gombal yaaa? XDD
Story only: 1.185 word
Medan, 11 Januari 2014

Selasa, 10 September 2013

Mrs. Flashmob



Title     : Mrs. Flashmob
Author : TatanTumis
Cast     : Sung Ha Jin
              Oh Sehun
            Sung Ha Joon
            Jung In Yeong
            Byun Baek Hyun
Genre  : Hurt/Comfort
Length : Oneshoot
Rating  : G
Disclaimer :Semua tokoh yang ada di dalam cerita hanya milik Tuhan.
Summary : Anggukan singkatnya berakhir penyesalan mendalam. Ternyata kata ya darinya mampu menjungkirbalikkan keadaan.Namun, dengan gilanya, ada sepercik rasa percaya muncul ke permukaan. Percaya pada pemuda menyebalkan yang baru ditemuinya tak kurang dari seperempat jam lalu.
Percaya pada dia, OH SEHUN.

.
HAPPY READING
.
.
“Argh!” teriakan-teriakan pilu dengan nada melengking—sangat­—pada bagian akhirnya. Menggetarkan gendang telinga, seakan mampu menulikan yang mendengar. Cairan-cairan bening asin mulai menyeruak dari balik pori-pori kulitnya yang kering, membasahi sekujur tubuhnya. Teriakan pilu itu terus terdengar. Dengan kepiluan yang bertingkat lagi, menyayat hati.
Kelopak matanya membuka, menunjukkan retina mata berwarna kecoklatan dengan genangan air mata di setiap sudut pelupuknya. Tangannya yang kasar menangkup kedua daun telinga, mencegah suara-suara dari pulau kapuk itu agar tak terdengar olehnya. Tapi percuma, semakin erat dia menutup daun telinganya, semakin erat pula mimpi itu mendekapnya. Seakan-akan memori itu sudah mengalir dalam darahnya, menyebar ke seluruh sel dalam tubuhnya, dan meracuni otaknya. Memori itu, tak akan pernah berkurang intensitas kejelasannya.
Begitu juga dengan teriakannya. Walaupun sudah tersadar dari buaian pulau kapuk, jeritan itu tak kunjung mereda. Justru semakin melengking. Gelengan kepalanya tak jua melenyapkan jeritan itu.
            “Kakak! Kak! Tenanglah. Aku disini. Aku memelukmu, kak. Kau aman.” Tangan mungil nan hangat yang melingkar pas di pinggulnya perlahan tapi pasti mampu menenangkannya. Ombak badai telah surut. Walau tak menutup kemungkinan suatu saat akan terjadi lagi.
            “Ha Joon.” Cicitnya, masih dengan napas terengah. Segera disambarnya lengan laki-laki kecil itu, memeluknya. Menyurukkan kepalanya ke sela leher Ha Joon. Air mata mulai jatuh membasahi wajahnya, menambah kesan menyedihkan yang semula melekat padanya.
            “Uhm? Aku di sini,” Tangan mungil Ha Joon mengelus singkat punggung sang kakak. Punggung itu, yang bahkan lebih tegap daripada punggungnya sendiri sebagai seorang laki-laki. Punggung yang selalu menjadi perisai baginya. “Mimpi lagi.”
            Anggukan singkat memperjelas suasana.
            Inilah sebabnya sang kakak selalu terjaga saat langit mengggelap. Hidup layaknya kelelawar, nokturnal. Saat semuanya terpejam, seorang Sung Ha Jin tetap terjaga. Bahkan saat siang pun, ia tak pernah tidur yang benar-benar tidur. Bagaimana dia bisa tidur saat di luar sana banyak pekerjaan yang menunggu untuk di kerjakan? Saat banyak upah yang menunggu untuk diraup.
            “Itu seperti napasku. Akan selalu hadir.” Tangisnya mereda. Ia sebagai kakak harus kuat di hadapan adiknya, tentu. “Akan selalu hadir. Akan selalu hadir.”
            “Itu akan pergi suatu saat. Mungkin secepatnya, jika kakak berusaha melupakannya. Lihatlah ke depan, jangan menoleh ke belakang. Karena menoleh ke belakang hanya akan membuatmu mengenang.” Tangan hangat Ha Joon berpindah ke bahu kakaknya, melepas pelukannya. Kemudian menatap lekat iris cokelat sang Kakak. Dan sumpah demi tujuh lapis langit, mata itu menyimpan berjuta kepedihan.
            “Bagaimana caranya? Aku selalu mencoba, tapi selalu gagal. Saat tidur, dia hadir lagi. Lagi. Dan lagi.” Ha Jin menjambak rambutnya lalu memukul-mukul kepalanya dengan kepalan tangan kokohnya. Dipikirnya, mungkin lebih baik tanpa kepala, tanpa mata. Karena matalah penyebab memori itu bisa masuk ke otaknya.
            Tangan Ha Joon mengepal kuat lalu berteriak hingga urat lehernya menonjol. Ia berteriak bukan tanpa alasan; sang kakak terlalu larut dalam masa lalu. Hingga terkadang seakan ia hidup di masa lalu. “Berhenti memukul kepalamu, kakak! Bagaimana dia bisa pergi jika kau selalu begitu? Mimpi itu tak akan terhapus jika kau selalu menebalkan ukirannya!”
            Ha Jin berhenti. Tangannya terkulai di kedua sisi tubuhnya. Baru kali ini Ha Joon berteriak padanya. Ternyata, sang adik sudah besar. Dan sudah bisa membentaknya. Hal itu sedikit banyak membuat hatinya terenyuh. Secepat itukah waktu berlalu? Jika ya, mengapa harus begitu?
.
.
.
.
.
            “Aku pergi.”
            Saat pintu bercat cokelat susu itu terbuka, angin berhembus menerbangkan anak rambut sang gadis, seakan membelainya lembut. Gumpalan awan lembut dan langit biru cerah seakan menyambutnya ramah. Tapi, seakan segala keindahan itu tak seberapa, sang gadis hanya melangkah dengan tatapan datar tanpa minat.
            Seakan tak pernah berpapasan dengan siapapun, gadis itu hanya melangkah tanpa pernah menyapa. Menurutnya, hal itu hanya akan membuang waktunya yang berharga. Toh, menyapa orang-orang tak akan memberinya uang. See? Itu sama sekali tak menguntungkan, ‘kan?
            Lima belokan ke kanan, tiga belokan ke kiri, dua perempatan, dan satu jembatan penyebrangan untuk sampai di coffe shop tempatnya bekerja. Suara nyaring lonceng saat pintu terbuka dan setelahnya hiruk pikuk suasana di dalam manyambutnya. Dengan sedikit musik yang hampir tak terdengar lantaran teredam suara ocehan pelanggan, kakinya melangkah ke ruang ganti.
            Dengan kemeja kream sebatas siku dan apron cokelat tebal bermotif biji kopi dan roti, sang gadis kembali melangkah. Tujuannya; meja kasir. Seyum seketika tersungging di bibir ranumnya. Bukan senyum yang sebenarnya. Hanya senyum bisnis. Agar pelanggannya tak bosan untuk datang lagi. Semakin banyak pelanggan, semakin banyak tips.
            “Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?”
            Dengusan bosan dan senyum bisnis yang luntur. Ha Jin muak, sungguh. Tersenyum dan berpura-pura beramah-tamah adalah hal yang sangat menjijikkan. Sangat tak sesuai dengan perangainya. Dan semakin kesini, ini semakin terasa konyol. Seakan ia mengenakan topeng, berpura-pura.
.
.
.
.
.
            “Hei! Aku lupa gerakan terakhirnya! Bagaimana ini? Ho ho ho…” gerutuan terdengar meluncur manis dari bibir seorang pemuda berambut merah menyala dengan style yang kelewat update. Matanya yang berpoles eyeliner tebal terlihat mengerut, sama halnya dengan bibirnya yang mengerucut. “Oh, ayolah! Sung Ha Jin, ajari aku! Kau satu-satunya yang bisa diandalkan. Demi Tuhan! Ini tinggal satu jam lagi, tak lebih.”
            “Aku lelah.”
            “Oh, ayolah, Sung Ha Jin yang manis. Ya ya?”
            “Aku tahu aku manis, bahkan dunia sudah mengakuinya. Tapi kau baru sadar sekarang? Bodoh.” Dengan wajahnya yang tetap datar, tanpa sepercikpun emosi, Sung Ha Jin merogoh lokernya acuh tak acuh. Mengabaikan pemuda yang saat ini memohon dengan wajah memelas di sebelahnya.
            “Tiga porsi besar pizza, sampai di rumah saat kau ingin.”
            “Ti—“
            “Tiga hari berturut-turut.”
            “Sepakat!” Penghematan uang belanja selama tiga hari, mungkin. Tiga porsi besar pizza perhari dan hanya perlu berbagi dengan Ha Joon. Itu sudah lebih dari kenyang. Daripada hanya makan roti keras yang hampir berjamur? Tentu tawaran Baekhyun—pemuda di sebelahnya—terasa sangat berkilauan, menggiurkan.
            “Huh! Materialistis!”
            “Hn. Perhatikan. Aku hanya akan melakukannya dua kali.”
            “Kau curang! Pizza itu mahal, da— HEI!” Tanpa aba-aba, Ha Jin bergerak. Menari dengan anggunnya, gerakannya sangat bersih. Jernih. Baekhyun kewalahan, ia tertinggal beberapa gerakan. Bisa-bisa tak hapal sama sekali jika begini caranya. Cerdik sekali kau, Sung Ha Jin.
            Hanya dengan durasi tak lebih dari satu setengah menit, Ha Jin berhenti bergerak. Kini, ia berlutut dengan tangan kanan terangkat ke langit dan tangan kiri menangkup dada. Wajahnya tertuntuk ke bawah. Seperti gerakan seorang pangeran berkuda putih yang akan melamar putri tidurnya. “Kau sudah melihat dan mencoba mengikuti. Sekarang kau harus menghapal gerakannya.”
            “Baiklah, Guru Sung!” angguk Baekhyun. Berdebat dengan gadis ini tak ada gunanya. Hanya akan menambah lekukan otak. Lagipula, gerakannya cukup gampang. Lumayan mudah dihapal. Bahkan mungkin, kini Baekhyun sudah menghapal dua per tiga bagiannya. Dan bila dipikir-pikir lagi, cara Ha Jin mengajarinya sangat amat efektif. Lihat, ikuti, dan hapal. Sangat cerdas.
            Ha Jin bergerak lagi. Tubuhnya meliuk-liuk di udara yang ringan, sangat indah. Rambutnya yang tergerai bebas menari-nari mengikuti gerakan tubuhnya. Bibirnya yang kering sesekali berucap, menghitung tempo gerakannya. Walau wajahnya tetap tanpa ekspresi, namun gerakannya sungguh menyiratkan banyak makna. Makna-makna yang sangat tulus. Seakan dia berbicara melalui gerakannya. Kali ini, dia melakukannya dengan tempo yang sedikit lebih lambat. Agar Baekhyun mudah menghapalnya.
            Tepat saat dua makhluk berbeda gender itu selesai dengan tariannya, suara tepuk tangan yang kuat dan bersemangat membelah keheningan. Diiringi dengan sedikit cekikikan yang lebih terdengar sebagai tawa bergema. “Cha! Sudah waktunya. Kita berangkat ke lokasi. 45 menit lagi kita on air. Ayo! Ha Jin, Baekhyun! Kalian tak akan melewati yang satu ini.”
            “Tentu saja tidak! Setelah saku-ku bolong dibuat gadis jutek ini!” Seru Baekhyun, sedikit kesal sebenarnya. Tapi itu semua terasa sepadan. Ha Jin mengajarinya—atau hanya memperlihatkan tariannya—sampai Baekhyun bisa. Lagipula, itu bukanlah perkara rumit bagi seorang milyuner seperti Baekhyun.
.
.
.
.
.
            Oppa, tunggu sebentar uhm? Aku ke toko itu sebentar.”
            “Oh? Tapi kalau kau pergi kita bisa terpencar, In Yeong. Kau mungkin akan tersesat.”
            Oppa! Tak akan. Selama kau tetap di sini tanpa bergeser sesenti pun, aku akan menemukanku. Kau lupa aku selalu berhasil menemukanmu? Huh?”
            “Hah, pergilah. Kau tahu aku tak dapat menolak bujukanmu.” Sunggut sang pemuda dengan senyum hangat yang tersungging manis di bibir tipisnya. “Tapi, lima menit kau tak kembali, aku pulang.”
            “Uhm!” Anggukan semangat dari sang gadis sebelum dia pergi tertelan tumpah ruah manusia di sekitarnya. Sangat padat di sini. Dan itu sedikit banyak mampu membuat pemuda itu sesak. Tempat ini sungguh ramai. Dengan kerlap-kerlip lampu terang yang berlatar gedung-gedung menjulang serta langit malam yang tanpa bintang. Sebenarnya ini mengasyikkan. Berpapasan dengan banyak orang baru, membuatmu merasa tak sendirian.
Jalanan Myeongdong sedikit melenggang. Pada detik berikutnya, terdengar suara nyanyian yang sangat nyaring. Seakan sedang ada konser musik di tempat ini. Dan detik berikutnya lagi, segerombolan orang menyergap pemuda tersebut sambil tersenyum manis ke arahnya . Mengelilinginya dengan formasi yang cukup sederhana.
Sang pemuda hanya mampu terperangah. Apa yang orang-orang ini lakukan? Batinnya mulai bertanya-tanya. Kini, sekelilingnya tak terdengar lagi hiruk pikuk orang-orang. Semua mansia yang tadi penuh sesak di jalan ini kini menepi ke pinggiran jalan. Dan menatapnya dengan tatapan beragam.
Formasi itu mulai berputar mengelilinginya. Mereka menari. Menari sambil bernyanyi tepatnya. Sebuah microphone mini yang mencuat dari belakang daun telinga terpasang manis di depan mulut mereka masing-masing. Sesaat kemudian, formasi tadi terpecah. Membentuk formasi lain yang terlihat seperti sebuah gerbang. Seseorang mendorong pemuda itu untuk maju. Berjalan di bawah rentangan tangan yang berbentuk gerbang tadi.
Dan di sana, di ujung formasi ini, berdiri seorang Jung In Yeong. Yang semakin mengejutkan sang pemuda, dia melihat gadis itu telah berganti busana. Kini gadis itu mengenakan gaun merah marun selutut dipadu dengan sepatu tinggi dan riasan wajah tipis. Tangan sang gadis menggenggam sebuket bunga yang berwarna senada dengan gaunnya.
Gadis itu menyanyi. Dia menyanyikan lagu cinta. Senyum sumringah mengembang sempurna di bibir penuhnya.
Semua hal ini membuat si pemuda menjadi sangat bingung. Apa apaan ini? Tarian-tarian ini, lagu-lagu ini, dan In Yeong. Apa-apaan semua ini?
Semuanya berhenti bergerak. Semuanya berhenti bersuara. Keheningan sejenak menyelimuti, membuat In Yeong gugup setengah mati. Seorang gadis datang dari arah sampingnya dan memberinya sebuah microphone berukuran normal. Selesai dengan tugasnya, sang gadis pengantar microphone melangkah ke samping. Tanpa senyum.
Seorang lain juga memberi sang pemuda sebuah microphone, yang diterimanya dengan senyum hambar dan sedikit raut bingung.
“Oh Sehun…” suara In Yeong menggema di kegelapan malam. Menyebuutkan nama pemuda yang datang ke tempat ini bersamanya. Pemuda yang tadi ditinggalnya untuk beberapa waktu. Tak ada embel-embel oppa. “Aku­, a-aku, (ehem!) Sembilan tahun mengenalmu, aku merasa nyaman, sangat. Waktu-waktu pertama memang sangat canggung bagiku. Tapi, kau bisa membuatku beradaptasi dengan cepat. Tak sampai setahun, aku bahkan lebih akrab denganmu daripada dengan kakakku sendiri. Dua tahun, kita lebih akrab lagi. Dan di tahun ketiga, saat aku beranjak remaja, aku mulai merasa ada yang aneh denganku. Dan itu berhubungan langsung dengan dirimu.
Aku mulai canggung, seperti saat kita pertama bertemu. Saat menatapmu dalam diam, aku berdebar dan panas. Aku malu dan kikuk. Hahaha. Dan kau tahu? Tahun-tahun berikutnya perasaan itu berkembang pesat. Aku mulai mengagumimu, kemudian menyukaimu, dan kemudian menyayangimu. Dan semakin kesini, aku mencintaimu. Perasaan ini semakin membuncah, hingga aku hampir meledak rasanya. Menurutku, ini tak bisa ditahan lagi. Jadi, Oh Sehun, maukah kau menjadi pendampingku?”
Yang ditanya hanya diam, belum mampu menguasai dirinya kembali. Ini terlalu sulit dipercaya. Bagaimana mungkin gadis itu melamarnya? Bukankah seharusnya lelaki yang melamar gadisnya? Dunia sudah jungkir balik rupanya.
Dengan cepat, Oh Sehun membenahi dirinya yang seakan buyar. Senyum tipis ditunjukkannya. Apa yang harus dia jawab? Salah sedikit, maka perasaan gadis itu taruhannya. Kalian tahu, menyakiti perasaan seorang gadis adalah hal paling bodoh. Lihatlah berapa banyak orang yang menyaksikan acara ini. Dan Oh Sehun bukanlah seorang brengsek yang akan menolak mentah-mentah tanpa memikirkan konsekuensinya terhadap sang gadis.
            Tapi dia juga tak bisa menerimanya. Sebab, ia tak merasakan apapun terhadap sang gadis.
Jadi, dia mencoba merangkai kalimat agar sang gadis mau mengerti. Mau mengerti tentang apapun jawabannya nanti.
            Didekatkannya microphone tadi dengan bibir dan mulai menimang. Otaknya bekerja keras sekarang. Dan cepat atau lambat ia harus menjawab, “Jung In Yeong. Sembilan tahun mengenalmu, membuatku tahu banyak. Kau gadis kuat. Jadi, apapun jawabanku, terimalah.” Tarikan napas dalam sang pemuda membuat In Yeong menahan napas. Sepertinya dia tahu apa jawaban pemuda itu.
“Kau cantik. Banyak pria yang menginginkanmu. Aku tak tahu kenapa kau memilihku. Aku juga menyayangimu, sangat. Aku menyayangimu sebagai adik, adik yang sangat istimewa.”
“Ja-jadi, jawabanmu?”
“Maaf. Aku tak mungkin mengencani adikku sendiri. Carilah pemuda lain. Hanya pemuda bodoh yang tak menginginkan dirimu. Buat pengecualian untukku, uhm? Karena aku Oppa-mu.”
“Ya, Oppa.” Nada bicara gadis itu sangat lemah. Membuat sang pemuda sedikit banyak merasa bersalah. Andai ia tak pernah bertemu dengan gadis kecil itu dulu. Pasti gadis itu tak akan tersakiti. Sehun tahu. Apapun jawabannya, sehalus apapun bahasanya, gadis itu akan tetap tersakiti. Tapi ia juga tak mau munafik dengan menerima gadis itu tapi hatinya berkata lain. Hal itu jelas lebih buruk dari apapun juga.
“Ya, Oppa. Dengan kecantikanku, aku pasti bisa mendapatkan pemuda manapun yang kusuka, ‘kan?!” suaranya semakin lemah. Kini matanya berkaca-kaca, siap menumpahkan segala kepedihan. Tapi ini dihadapan orang banyak, bagaimana mungkin menangis? Mati-matian dicobanya membendung kepedihan, salah satunya dengan tersenyum. Senyum yang sangat menyedihkan sebenarnya.
“Tentu saja!” Senyum sang pemuda bertambah lebar, berusaha menguatkan hati gadis yang berkaca-kaca di hadapannya. Setetes saja air matanya jatuh, maka aku adalah penjahat besar. pikirnya dalam diam.
Saat In Yeong ingin lanjut berbicara, suara debuman keras menghancurkan piramida konsentrasinya. Gadis pengantar microphone tadi jatuh menghantam bumi. Bibirnya putih dan pecah-pecah. Mata sipitnya terpejam sempurna. Debu-debu jalanan mengotori kaus tipis yang dipakainya. 
Oh Sehun membeku di tempatnya. Manatap lekat gadis pucat yang terbaring lemah di atas aspal. Kulit gadis itu, bagai tak dialiri darah. Dia terlalu putih, tak normal. Sangat kontras dengan rambutnya yang hitam legam. Beberapa helai rambut hitamnya terjuntai melewati alis tebal dan bulu matanya yang lentik. Pipinya sangat tirus, dan bibirnya pecah-pecah sama sekali tak terbantu oleh polesan lipgloss bening.
“Ha Jin! Ha Jin!”
Sebelum seorang pemuda berambut merah menyala mendekat, Sehun melesat secepat angin. Menyelipkan tangannya di balik punggung gadis itu dan berdiri dengan tergesa. Pemuda berambut merah tadi mengernyit aneh ke arahnya. “Maaf, kau mengenalnya?” desis Baekhyun.
“Tidak. Cepat panggil ambulan.”
In Yeong melihat hal itu tanpa bergeming. Oh Sehun. Pemuda itu nyaris sempurna. Segala jenis kebaikan dan keindahan bermuara di dirinya. Pemuda itu seakan tanpa celah, terlalu berkilauan. Terlintas sekelebat perasaan bangga dalam hatinya saat pemuda itu dengan sigap meraih si gadis pengantar microphone. Saat kebanyakan orang lebih suka mengabaikan, maka pemuda itu berbeda.
“Nona, sadarlah.” Tepukan-tepukan kecil mendarat di pipi Ha Jin, tepukan yang seakan mencoba menggenggam kesadarannya. Tapi hal itu tak membantu sama sekali. Ha Jin sudah terlalu dalam memasuki alam bawah sadarnya. Butuh waktu untuk kembali naik ke permukaan, bukan begitu?
.
.
.
.
.
“Astaga.” Desahan pelan meluncur dari bibir pucat Sung Ha Jin. Gadis itu mengedarkan pandang ke seluruh sudut ruangan. Dia tidak bodoh sama sekali. Dalam hitungan detik ia langsung mengetahui bahwa ini di rumah sakit. Yeah, siapa yang tak tahu bau menjijikkan rumah sakit? Dan tempat ini seakan menyudutkan dirinya, membuatnya merasa lemah.
Seharusnya ia sedang bekerja sekarang; mengumpulkan sebanyak-banyaknya uang untuk Ha Joon.
Tapi kenapa pula dinding beku rumah sakit ini mengurungnya? Mengekangnya?
Suara engsel dan kenop pintu yang memutar terdengar jelas dalam kesepian, membuatnya menoleh.  Pintu besar berwarna putih dengan kenop perak terbuka, menampilkan sesosok makhluk yang berada di belakangnya. Sosok itu berjalan terseok, dengan satu kaki menyeret di lantai. Diikuti sesosok lain di belakangnya yang tersenyum lebar dan menenteng plastik putih kecil. Sosok yang berjalan terseok tadi terlihat sangat khawatir dan memperlebar langkah kecilnya agar mendekat.
“Astaga! Dimana tongkatmu? Kakimu bisa lecet tanpa benda itu. Jangan ceroboh!”
“Kau tak apa, Kak? Sudah selalu kuingatkan; jangan lupa sarapan. Tapi kau mengabaikannya. Kau ini tak sayang nyawa, huh?” sambar si pemuda mungil sambil menggenggam telapak tangan sang kakak erat-erat. Apa-apaan kakaknya ini? Saat dirinya sendiri terbaring lemah, masih sempat menanyakan perihal tongkat? Lucu sekali. “Setidaknya, sayangilah nyawamu demi adikmu ini.”
“Hm. Aku hanya kelelahan.”
“Kelelahan? Sampai pingsan hampir seharian? Kelelahan apa yang kau tahu seperti itu!”
“Ini hanya hal biasa, tak perlu sesewot itu, Ha Joon.”
“Tapi Kak, kau tahu, kau satu-satunya yang kumiliki. Bagaimana jika—“
“Berhentilah berkata ‘bagaimana jika…’. Itu tak mengubah apapun.” Ha Jin melepaskan genggaman tangan adiknya. Memalingkan wajah ke jendela yang mengirimkan udara segar dari taman di luar. Berusaha agar tak terpancing emosi. Ha Jin sangat menyayangi adiknya. Tapi dia sangat membenci topic pembicaraan semacam ini.
Sungguh, ‘bagaimana jika…’ adalah hal menjijikkan. Hidup ini terlalu kejam bahkan hanya untuk sekedar berandai-andai.
“Hei, Hei! Berhentilah bertengkar. Yang terpenting adalah si nona jutek ini baik-baik saja dan kau, Ha Joon, tak perlu khawatir.” Sela seorang pemuda yang sedari tadi mengekor di belakang Ha Joon. Sekilas ditepuknya bahu si pemuda mungil. Sungguh anak ini, yang harus dewasa sebelum waktunya.
“Diamlah, Byun Baekhyun!”
.
.
.
.
.
“Nona, secangkir espresso. Tambahkan juga seporsi kecil croissant almond.”
Sesungging senyum bisnis yang ditujukan bagi sang pelanggan.
Tarian jemari mungilnya di atas mesin kasir menyebabkan secarik kertas penuh tulisan muncul lamat-lamat. Setelah mengambil pesanan dan meletakkannya di atas nampan berwarna cokelat kecil, sang gadis kembali ke maja kasir. Kemudian menyerahkan nampan tadi ke arah sang pelanggan. Diikuti dengan secarik kertas bertulis. Tanpa senyuman lagi—karena ia bosan terus bersikap munafik­— dan berkata, “Bill-nya, Tuan.”
Sang pelanggan masih sibuk berkutat dengan benda elektronik di genggamannya, tanpa memperhatikan sang pelayan di hadapannya yang mulai mendengus jenuh karena masih harus terus mempertahankan senyum palsunya. Dehaman kecil dari si pelayan pun tak kunjung membuyarkan konsentrasinya dari benda persegi di hadapannya.
“Permisi Tuan. Ini pesanan anda dan ini bill-nya.”
“Ah! Ya. Uhm,” kini si pelanggan mengeluarkan lembaran-lembaran uang dari dalam dompetnya. Kemudian menyodorkannya ke atas pantry licin perpelitur cokelat. “Ini, kembaliannya tak usah.”
Saat hendak mengambil nampan pesanannya, si pelanggan menyempatkan diri untuk menoleh sebentar. Berniat untuk sekedar mengucapkan terimakasih pada si pelayan dan mungkin sedikit senyum. Itu yang biasa dilaakukan seorang pelanggan kepada pelayan, ‘kan?
“Eh, Nona? Kau yang waktu itu, ‘kan? Oho, kau sudah sehat?”
“Maaf, saya rasa saya tidak mengenal Anda.”
“Secepat itukah kau lupa, Nona? Kalau begitu, biar kubuat kau ingat. Kenalkan, aku Oh Sehun,” juluran tangan si pemuda tak lekas bersambut. Karena merasa tak direspon, tangan itu bergoyang. Bergerak layaknya orang yang bersalaman. “Aku pemuda yang dilamar di Jalanan Myeongdong. Dan kau pingsan saat itu.”
Dengan kaku, si pelayan menyambut uluran tangan Sehun. Tangan itu, sangat hangat. Bahkan tangan Ha Joon tak sehangat itu. Rasanya seperti melihat masa lalu. Saat seorang wanita keibuan juga melakukan hal yang sama; menggenggam tangannya dan menyalurkan kehangatan yang sungguh damai diiringi dengan elusan lembut pada rambutnya.
Tapi itu hanya masa lalu yang sudah berlalu.
Dan segala hal tentang masa lalu, meniupkan udara kepedihan bagi dirinya. Seakan kembali mengoyak jantungnya. Sesegera mungkin, dia menarik tautan jemari mereka. Semakin lama berjabat tangan, semakin lebar lukanya terbuka.
            “Nona, kau menangis?”
            “Tidak. Maaf, aku harus kembali bekerja.” Secepat yang ia bisa, Ha Jin melesat pergi ke dapur. Menyibukkan diri dengan pekerjaan yang tak seharusnya dilakukan.
            Pemuda itu tetap berdiri tegak di depan meja kasir. Menatap hampa nampan makanannya.
            Ini adalah masalah terbesar dalam hidupnya. Makan sendirian. Biasanya, akan selalu ada seseorang yang menemaninya makan. Tapi untuk kali ini, tak ada seorangpun yang menemaninya. Dan itu sangat amat mengkhawatirkan. Tak pernah sekalipun terpikir olehnya akan makan sendirian.
            “Uhm, maaf Nona. Nona, Nona Flashmob.”panggilnya ragu, gadis it uterus berkutat pada dunia yang diciptakannya sendiri. Dapur dan meja kasir tak dibatasi oleh sekat apapun. Jadi, mata bening si pemuda dapat dengan leluasa melihat gadis minim ekspresi tersebut. “Nona, Nona Sung.”
            Si gadis menoleh dan dengan ragu berjalan mendekat. Apa lagi yang diinginkan pemuda ini? “Ya, ada apa Tuan?”
            “Uhm, uhm bisakah temani aku makan? Aku tak makan sendirian.”
            “Maaf, Tuan. Aku sibuk, sangat.”
            “Oh, ayolah Nona. Aku tak pernah bisa makan sendirian. Itu membuatku frustasi.”
            “Tapi, Tuan. Kau tahu—“
            “Baiklah, Tuan. Pelanggan adalah raja, hm? Ha Jin, kau boleh temani dia.”  Ha Jin mendelik dibalik rambutnya. Apa-apaan ini? Seenaknya saja atasannya ini.
            “Nyonya, sejak kapan seorang panjaga kasir be—“
            “Sejak aku memerintahkanmu. Pergi, atau tak bergaji. Kau boleh pilih.” Tak bergaji? Lebih baik mati. Dengusan sebal meluncur lancar dari bibirnya. Atasannya ini memang menyebalkan.
.
.
.
.
.
            “Darimana kau tahu namaku?” tak ada lagi panggilan-panggilan formal seperti sebelumnya.
            Tag name. Benda itu sangat membantu. Jadi, aku bisa tahu tanpa harus bertanya.”
            Lagi dan lagi gadis itu mendengus. Pemuda di hadapannya ini sungguh konyol. Dan Nyonya Lee—atasannya yang garang itu—tak pernah lepas mengamati gerak-gerik Ha Jin. Lihat saja matanya itu, seakan menusukmu. Dan itu menyebalkan. Kenapa pula seorang penjaga kasir malah duduk di meja pelanggan? Mengamati dan menunggui pelanggannya makan?
                Dunia ini semakin konyol.
                Dan pemuda di hadapannya ini. Lihat seberapa tenang ia. Seakan tak terjadi apapun. Padahal, ia adalah seorang tersangka kriminal sekarang (jika menculik penjaga kasir sebagai teman makan dianggap kriminal).
                “Nona Sung, bisa tolong tiupkan espresso-nya untukku?”
                “Tidak, terimakasih.”
                Ehem! Nyonya Lee sibuk bernyanyi di meja kasir, dengan tatapan yang tak lepas-lepas dari Ha Jin. Tapi, apa pula itu liriknya? Gaji? Jadi, itu adalah ancaman, huh? Licik sekali kau Nyonya Lee. Sekaligus jahil.
Dengan sangat amat terpaksa, akhirnya gelas yang mengepulkan uap tipis itu berpindah dalam genggaman tangan Ha Jin.Gadis itu tak mempedulikan rasa panas yang membakar permukaan kulitnya. Kekesalannya jauh lebih mendominasi. Pemuda ini, mengapa bisa begitu menyebalkan?
“Ini!”
“Kau yang minum pertama, aku setelahnya.”
“Kau gila? Setelah menyeretku ke sini sesuka nenek moyangmu, kini kau memerintahkanku jadi juru cicip pribadimu? Jangan harap.”
“Nona, tolonglah. Aku tak meniup benda panas. Aku alergi akan uapnya, membuatku sulit bernafas setelahnya.”
“Aku tak peduli. Kau bisa tiup sendiri atau tak sama-sekali.”
Nyonya Lee bernyanyi. Lagi. Tentang gaji. Dan kali ini dengan  suara yang lebih lantang dari yang tadi. Tapi Soon Hee —berpura-pura—tak perduli.
“Nona Sung, kau te—“
“Jangan kekanakan Tuan Oh.” Ha Jin mendengus terus-terusan. Duduk di sini lima menit ke depan, maka rambutnya akan berguguran. Pemuda ini begitu menyebalkan. Juga kekanakan. Ha Jin bingung; apa yang gadis waktu itu idamkan dari pemuda yang kelewat kekanakan ini? Tak masuk akal.
Sehun lanjut memakan rotinya, tanpa espresso. Dan itu terasa sangat hambar—meskipun rotinya bertaburan almond keemasan—bahkan lebih hambar dari air putih. Tapi Sehun sadar, dia tak boleh terus-menerus merepotkan gadis di hadapannya tersebut. Keterlaluan jika ia terus merepotkan gadis yang tak dikenalnya sama sekali.
Tapi, makan tanpa teman yang mengerti dirinya memang kelewat menyedihkan.
Tak ada yang meniupkan makanan panas untuknya.
“Sehun? Ah, ya! Ternyata benar. Anakku, Ayah merindukanmu!” seru seorang pria paruh baya dengan antusiasme tinggi. Wajahnya yang penuh kerutan berbinar bahagia. Matanya hilang terlelan tarikan bibirnya yang menyunggingkan senyum super sumringah. Pria itu terlihat sangat bahagia.
Dalam hitungan detik, Sehun bangkit berdiri—hampir terlihat seperti melompat—dan menerjang pria paruh baya itu. Menelusupkan dirinya dalam dekapan hangat yang sangat dirindukannya. Mulanya, pria paruh baya itu agak kewalahan menghadapi respon dari putra semata wayangnya tersebut. Namun, dengan kesigapan pria sejati, ia dengan cepat menguasai diri dan membalas pelukan hangat Sehun.
Respon Sehun terlihat terlalu bersemangat.
Tapi hal tersebut agaknya sangat wajar mengingat dirinya yang tak lagi bertemu Ayahnya itu dalam kurun waktu yang cukup lama. Sang Ayah terpaksa tinggal di Eropa demi menyambung hidup, menjalani serangkaian fase yang membantu jantungnya terus memompa. Dan ingatan ini sedikit banyak menimbulkan pertanyaan pelik bagi Sehun, yang segera disuarakannya dalam sebuah pertanyaan; “Ayah di sini? Bagaimana dengan pengobatan Ayah? Astaga, apa Ayah kabur dari rumah sakit?”
“Hei, hei! Pelan-pelan.” Tangannya yang berkeritput mendarat mulus di rambut kecokelatan Oh Sehun, membubuhkan tepukan-tepukan kecil di sana. Kemudian tersenyum lagi. Putranya ini. Seberapa cepat waktu berlalu. Seakan baru kemarin anak ini menangis minta dibelikan susu dingin, dan sekarang dia telah menjelma sebagai pemuda mapan pemegang tampuk kekuasaan. “Dokter Abby membolehkan Ayah pulang. Kau tahu, nak? Ayah sangat merindukan kalian! Sangat sangat.”
“Ayah… Aku juga merindukanmu, sangat. Tapi, demi apapun! Kesehatanmu tentu jauh lebih penting. Aku bisa datang menemui Ayah kapanpun—“
“Tapi nyatanya kau tak pernah berkunjung. Hahaha.” Ayahnya tertawa. Tawanya sungguh renyah. Membuat Sehun terenyuh. Benar, ia tak pernah mengunjungi sang ayah. Walaupun ia sangat menyayangi pria paruh baya tersebut, ia tak pernah menjenguknya.
“Maaf, Ayah.” Sehun tertunduk, merenung. Ia terlalu larut dalam pekerjaannya. Tanpa mengingat Ayahnya. Seketika, Sehun merasa bersalah. Sangat bersalah.
“Hahaha. Sudahlah. Kau tahu, Ayah selalu memaafkanmu. Tak perlu meminta maaf lain kali.”
Ha Jin memperhatikan kedua orang ayah-anak itu lekat-lekat. Ayah. Ayah. Ayah.
Kini, sosok itu seakan khayalan bagi Ha Jin. Karena, sekencang apapun ia memohon, Ayahnya tak akan hadir lagi. Tak akan pernah.
Gadis itu duduk membeku di kursinya. Bibirnya berhenti meniupi cangkir. Tangannya serasa dingin. Tidak, sekujur tubuhnya terasa dingin. Bahkan beku. Kepalanya berdenyut-denyut dan hatinya serasa tersayat sembilu. Batu karang maha besar menimpanya kini.
“Oh? Ini siapa? Kekasihmu?”
Sehun bingung.
Gadis ini, bahkan Sehun tak tahu asal-usulnya—walau Sehun percaya padanya. Dengan lambat dan ragu, pemuda itu mengangguk pelan. “Y-ya Ayah.”
Ha Jin tersentak. Ya katanya? Apa-apaan pemuda gila ini? Apa urat syarafnya putus? Secepat kilat, Ha Jin menoleh kea rah Sehun. Mengirimkan tatapan mematikan yang sarat akan keseriusan. Dirinya sudah cukup sial bertemu pemuda itu. Dan kini? Kesialan apa lagi yang dibuatnya?! Gila!
Sehun bergidik, ngeri. Tapi kini, Ayah adalah prioritas utamanya. Ayahnya telah lama mendesaknya menemukan pendamping. Dan tak seorangpun gadis yang dekat dengan Sehun, kecuali In Yeong—gadis itu sudah dianggap anak oleh ayak ibu Sehun.  Tapi kini, membantah sama artinya dengan menggiring Ayahnya ke liang lahat. Sama artinya dengan mengubur ayahnya hidup-hidup.
Tentu saja Ayahnya tak menerima penolakan. Penyakit jantungnya bisa kambuh sewaktu-waktu.
Bibir tipis pemuda itu bergerak seiringan, berbicara tanpa bersuara. Mengisyaratkan pada Ha Jin agar gadis itu berkata ya. Terdengar egois memang. Dan gadis itu tentu saja melancarkan penolakan keras.  Tapi Sehun tak menyerah. Ia memohon melalui pandangan matanya.
Dan kini, Ha Jin jadi beribukali lebih gila daripada Oh Sehun.
Dia mengangguk. Sung Ha Jin mengangguk. Entah apa yang membuatnya mengangguk, tak pasti. Yang jelas, tatapan pemuda itu mempu dipercaya, dan Ha Jin memilih untuk memercayainya. Seketika Ha Jin merasa seperti manekin. Tapi di sisi lain—entah mengapa—ia merasa lega saat mengangguk dan berkata ya.
Megikuti insting, Ha Jin berdiri kemudian tersenyum tulus. Tulus yang benar-benar tulus. Tubuh mungilnya membungkuk, memberi penghormatan pada pria paruh baya itu. Dan pria itu tersenyum jauh lebih terang dari yang sebelumnya. “Nama saya Sung Ha Jin. Mohon bantuannya.”
“Ya! Sehun, kau memilih gadis yang tepat. Lihat betapa santunnya ia!” seru ayahnya girang. Senyum tak kunjung luntur dari wajah rentanya. “Cepatlah menikah. Umurku semakin lanjut, dan aku sering mengkhawatirkan beberapa hal belakangan ini.”
Ha Jin merasa terhempas ke permukaan lantai berduri. Ternyata, anggukan singkatnya berakhir penyesalan mendalam. Ternyata kata ya darinya mampu menjungkirbalikkan keadaan.
Namun, dengan gilanya, ada sepercik rasa percaya muncul ke permukaan. Percaya pada pemuda menyebalkan yang baru ditemuinya tak kurang dari seperempat jam lalu.
Percaya pada dia, OH SEHUN.
.
.
.
.
.

END
.
.
.
.
.